Rabu, 02 Juli 2014

Surat dari Ayah

Setiap pagi seorang tukang pos selalu melewati rumahku. Mengatarkan kiriman pada semua tetanggaku, tapi ia tak pernah mampir ke rumahku. Hanya rumahku yang tak pernah dikirimi apapun oleh siapapun. Terkadang aku iri terhadap tetanggaku yang menerima surat terkadang kiriman box besar yang entah apa isinya. Aku ingin mendapat kiriman juga.
            Aku bertanya pada teman-temanku, darimana mereka mendapatkan kiriman itu. Mereka bilang mereka mendapatkannya dari keluarga mereka yang merantau. Sedangkan aku lahir dan dibesarkan di desa ini. Keluargaku juga tak ada yang pergi merantau.
            “Kirim saja surat ke alamat rumahmu sendiri.” Usul temanku. Memang kedengaran aneh. Tapi, masa iya aku mengirimkan surat ke alamat rumahku sendiri. Tapi apa salahnya mencoba, daripada aku terus digunjing oleh banyak tetangga karena tak pernah mendapatkan kiriman apapun dari tukang pos.
            Sebelum aku pergi ke kantor pos, berita bahwa aku akan mengirimkan surat ke alamat rumahku sendiri telah menyebar ke seantero kampung. Aku malu dibuatnya, rupanya saat aku berbincang tadi ada yang menguping pembicaraan kami dan langsung menceritakannya ke seluruh pelosok kampung. Entah siapa yang menyebarkan cerita ini, awas saja kalau aku tahu.
            Sesampainya di rumah orang tuaku sudah menunggu dengan wajah marah, mereka memakiku. Mereka mengurungku di kamar karena telah membuat malu keluarga.
“Kita memang gak pernah dapat kiriman apapun dari tukang pos. Tapi kamu jangan membohongi dirimu dan orang lain seperti itu. Kalau kayak gini malah bikin kita tambah malu. Udah gak pernah dapat kiriman dari tukang pos, keluarga kita di cap sebagai tukang bohong juga.” Aku hanya diam menangis di kamarku, sementara ibu dan ayahku saling menyalahkan tak bisa mendidik anak dengan benar, saling menyalahkan mengapa keluarga kami tak pernah mendapat kiriman dari tukang pos, ibuku memaksa ayahku untuk mencari cara bagaimana agar keluarga kami mendapatkan kiriman dari tukang pos.
            Setelah bertengkar panjang lebar ayahku memutuskan pergi ke kota esok hari untuk mengubah nasib keluargaku yang tak pernah menadapat kiriman dari tukang pos. Ayah bilang ia akan bekerja di kota selama tiga bulan. Setiap bulannya ia akan mengirimkan surat berserta uang hasil kerja kerasnya ke alamat rumah kami. Agar keluarga kami tak malu lagi karena tak pernah mendapatkan kiriman dari tukang pos.
            Bulan pertama ayahku mengirimkan sebuah surat dan menyelipkan lima lembar uang pecahan seratus ribu dalam suratnya. Ia bilang, penghasilannya belum menentu saat ini. Ia juga masih kesulitan menemukan pekerjaan. Sehingga hanya itu yang mampu ia berikan pada kami, namun di surat itu tak ada alamat pengirim, aku tak bisa membalas surat ayahku. Tetanggaku mulai bergunjing soal keluargaku yang mendapat kiriman surat dari tukang pos.
            Bulan kedua ayahku mengirimkan sebuah box besar berisi pakaian, perhiasaan, boneka untukku serta sebuah amplop coklat besar berisi banyak uang dan selembar surat. Ayahku berkata ada seseorang yang membutuhkan jasanya, lalu menawarinya pekerjaan yang menghasilkan banyak uang untuk kami. Kami sungguh senang, akhirnya nasib keluarga kami dapat berubah juga. Ibuku memutuskan menggunakan uangnya untuk merenovasi rumah kami yang mulai hancur dimakan usia. Agar sepulangnya ayah nanti, ayah akan tahu kemana uang itu digunakan. Agar ayah dapat menikmati jerih payahnya juga.
            Bulan ketiga aku menunggu di tanggal yang sama, menunggu kiriman dari tukang pos yang sudah terbiasa mampir semenjak dua bulan ini. Pak pos tak kunjung datang, aku menunggu hingga sore hari. Pak pos benar-benar tak mampir ke rumahku hari ini. Sementara tetanggaku mulai berbincang tentang kirimannya masing-masing hari itu. Mungkin esok pak pos akan datang.
            Pagi-pagi sekali aku tak mendengar suara bel sepeda pak pos, ada suara sirine menderu-deru pagi ini. Kampung kami tak pernah dimasuki oleh mobil bersirine, aku berlari keluar sementara seluruh tetangga sudah berkerumun di depan rumahku. Ibuku menangis, sementara aku menatap bingung harus bagaimana.

            Bulan ketiga seperti kata ayahku ia akan pulang. Ia membawakan sepucuk surat di tanpa terselip apapun di dalamnya. Ayahku pulang bersama ambulan dan suratnya yang terakhir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar