Setiap pagi seorang tukang
pos selalu melewati rumahku. Mengatarkan kiriman pada semua tetanggaku, tapi ia
tak pernah mampir ke rumahku. Hanya rumahku yang tak pernah dikirimi apapun
oleh siapapun. Terkadang aku iri terhadap tetanggaku yang menerima surat
terkadang kiriman box besar yang entah apa isinya. Aku ingin mendapat kiriman
juga.
Aku bertanya pada teman-temanku, darimana mereka
mendapatkan kiriman itu. Mereka bilang mereka mendapatkannya dari keluarga
mereka yang merantau. Sedangkan aku lahir dan dibesarkan di desa ini.
Keluargaku juga tak ada yang pergi merantau.
“Kirim saja surat ke alamat rumahmu sendiri.” Usul
temanku. Memang kedengaran aneh. Tapi, masa iya aku mengirimkan surat ke alamat
rumahku sendiri. Tapi apa salahnya mencoba, daripada aku terus digunjing oleh
banyak tetangga karena tak pernah mendapatkan kiriman apapun dari tukang pos.
Sebelum aku pergi ke kantor pos, berita bahwa aku akan
mengirimkan surat ke alamat rumahku sendiri telah menyebar ke seantero kampung.
Aku malu dibuatnya, rupanya saat aku berbincang tadi ada yang menguping
pembicaraan kami dan langsung menceritakannya ke seluruh pelosok kampung. Entah
siapa yang menyebarkan cerita ini, awas saja kalau aku tahu.
Sesampainya di rumah orang tuaku sudah menunggu dengan
wajah marah, mereka memakiku. Mereka mengurungku di kamar karena telah membuat
malu keluarga.
“Kita memang gak pernah
dapat kiriman apapun dari tukang pos. Tapi kamu jangan membohongi dirimu dan
orang lain seperti itu. Kalau kayak gini malah bikin kita tambah malu. Udah gak
pernah dapat kiriman dari tukang pos, keluarga kita di cap sebagai tukang
bohong juga.” Aku hanya diam menangis di kamarku, sementara ibu dan ayahku
saling menyalahkan tak bisa mendidik anak dengan benar, saling menyalahkan
mengapa keluarga kami tak pernah mendapat kiriman dari tukang pos, ibuku
memaksa ayahku untuk mencari cara bagaimana agar keluarga kami mendapatkan
kiriman dari tukang pos.
Setelah bertengkar panjang lebar ayahku memutuskan pergi
ke kota esok hari untuk mengubah nasib keluargaku yang tak pernah menadapat
kiriman dari tukang pos. Ayah bilang ia akan bekerja di kota selama tiga bulan.
Setiap bulannya ia akan mengirimkan surat berserta uang hasil kerja kerasnya ke
alamat rumah kami. Agar keluarga kami tak malu lagi karena tak pernah
mendapatkan kiriman dari tukang pos.
Bulan pertama ayahku mengirimkan sebuah surat dan
menyelipkan lima lembar uang pecahan seratus ribu dalam suratnya. Ia bilang,
penghasilannya belum menentu saat ini. Ia juga masih kesulitan menemukan
pekerjaan. Sehingga hanya itu yang mampu ia berikan pada kami, namun di surat
itu tak ada alamat pengirim, aku tak bisa membalas surat ayahku. Tetanggaku
mulai bergunjing soal keluargaku yang mendapat kiriman surat dari tukang pos.
Bulan kedua ayahku mengirimkan sebuah box besar berisi
pakaian, perhiasaan, boneka untukku serta sebuah amplop coklat besar berisi
banyak uang dan selembar surat. Ayahku berkata ada seseorang yang membutuhkan
jasanya, lalu menawarinya pekerjaan yang menghasilkan banyak uang untuk kami. Kami
sungguh senang, akhirnya nasib keluarga kami dapat berubah juga. Ibuku
memutuskan menggunakan uangnya untuk merenovasi rumah kami yang mulai hancur
dimakan usia. Agar sepulangnya ayah nanti, ayah akan tahu kemana uang itu
digunakan. Agar ayah dapat menikmati jerih payahnya juga.
Bulan ketiga aku menunggu di tanggal yang sama, menunggu
kiriman dari tukang pos yang sudah terbiasa mampir semenjak dua bulan ini. Pak
pos tak kunjung datang, aku menunggu hingga sore hari. Pak pos benar-benar tak
mampir ke rumahku hari ini. Sementara tetanggaku mulai berbincang tentang
kirimannya masing-masing hari itu. Mungkin esok pak pos akan datang.
Pagi-pagi sekali aku tak mendengar suara bel sepeda pak
pos, ada suara sirine menderu-deru pagi ini. Kampung kami tak pernah dimasuki
oleh mobil bersirine, aku berlari keluar sementara seluruh tetangga sudah
berkerumun di depan rumahku. Ibuku menangis, sementara aku menatap bingung
harus bagaimana.
Bulan ketiga seperti kata ayahku ia akan pulang. Ia
membawakan sepucuk surat di tanpa terselip apapun di dalamnya. Ayahku pulang
bersama ambulan dan suratnya yang terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar