Selasa, 01 Juli 2014

Memoriku: Aku Belajar Tersenyum dengan Susah Payah.


Dulu orang-orang di sekitarku tidak begitu menyukaiku, rata-rata dari mereka akan langsung menghindar atau paling tidak menunduk atau memalingkan wajah jika berpapasan denganku. Mereka rasanya enggan untuk berurusan denganku bahkan untuk menyapa saja rasanya mereka terlalu segan.
            Bukan hanya teman-teman atau tetanggaku yang seperti itu bahkan keluargaku pun terkadang malas berbicara denganku, karena biasanya ekspresiku hanya datar sambil menjawab seperlunya saja, sungguh berbanding terbalik dengan studi ilmiah bahwa wanita menghabiskan 15000 kata perharinya dan pria hanya sekitar 5000 kata perhari. Tapi, ini tidak berlaku untukku, bahkan rasanya aku tak pernah bicara lebih dari 5000 kata perhari.
            Selain jarang bicara, orang-orang juga segan karena ekspresi wajahku yang datar, untuk mendapatkan senyum seperti foto di atas aku berlatih selama bertahun-tahun untuk bisa tampak tersenyum tulus seperti itu. Awalnya, mereka yang di sekitarku sering berkomentar “Senyum dong! Muka datar jangan dipelihara.” Atau pernah juga ketua kelasku menuliskan catatan tentang teman-teman sekelasnya dan ia berkata “Ika Septiana Sanel, manusia yang entah datangnya dari mana. Berwajah datar tanpa ekspresi, jarang tersenyum sekalinya senyum maksa banget malah jadi keliatan ngenyek. Mungkin dia datang terlambat waktu semua manusia di bumi ngantri muka. Dia juga jarang ngomong, sekalinya ngomong orang-orang dibikin bingung sama omongannya. Yaudahlah mending gak usah ngomong.” Kira-kira begitulah tanggapan banyak orang.
            Selain tidak bisa tersenyum dengan baik aku juga tidak bisa berbicara dengan baik, susunan tata bahasaku sangat kacau. Hingga butuh latihan berbicara saat aku kuliah, agar tidak tampak seperti orang yang benar-benar kacau cara bicaranya. Susunan kalimat yang aku ucapkan biasanya terdengar aneh seperti “Gue gak apa apa kok sendirian, lu duluan aja.” Aku malah mengucapkannya menjadi, “Gak apa-apa gue sendirian? Duluan aja lu.” Ini yang membuat banyak orang bingung ketika aku berbicara. Biasanya mereka akan langsung mengomentari cara aku berbicara. Walaupun sekarang aku sudah bisa bicara banyak dengan tata bahasa yang cukup lumayan. Itu semua berkat latihan dan kerja keras, serta memberanikan diri untuk bercerita dengan teman-temanku. Padahal sebelum kuliah aku tidak pernah bercerita kepada siapapun, tapi semenjak aku menemukan teman-teman yang aku rasa bisa dipercaya aku melakukan itu.
            Guru-guru SMPku juga sangat benci dengan ekspresi datarku, ketika SMP dulu aku merupakan seorang dengan kepribadian buruk. Paling suka melanggar peraturan, keluar masuk ruang BK sudah biasa buatku. Semua orang di sekolah juga kenal siapa aku. Aku yang selalu berdiri di lapangan atau paling tidak berdiri di luar kelas atau depan kelas saat pelajaran sosiologi dan geografi. Aku yang sering dihukum jalan jongkok oleh guru fisika dan olahraga. Aku yang sering kena semprot oleh wali kelasku, aku yang sering diteriaki melalui pengeras suara oleh guru matematika karena ketahuan jajan di kantin saat pelajaran sedang berlangsung. Aku yang dijuluki Miss Expresionless oleh guru bahasa Inggris dan Seni musikku serta aku yang dijuluki Manusia tanpa dosa oleh guru PLKJ dan Seni rupa. Karena aku selalu berekspresi datar seperti orang tak berdosa setiap kali melakukan kesalahan, berwajah polos kalau aku sedang dimarahi, seolah aku tak pernah berbuat kesalahan apapun. Masa SMP adalah masa-masa kejayaan untuk kenakalanku. Tetapi pada masa ini aku masih memiliki grafik emosi, naik turun seperti kebanyakan orang.
            Memasuki masa-masa SMA, grafik emosiku mulai menurun lalu mendatar seperti tidak memiliki emosi lagi. Aku tidak pernah terlihat marah, ataupun tersenyum. Ekpresi yang paling sering aku tunjukan kalau bukan ekspresi datar adalah ekspresi kesedihan. Aku sering menangis kala itu. Ekspresi kejujuranku yang paling dalam.
            Semua ekspresi itu bukan tanpa alasan, aku menangis karena rasanya tak sanggup lagi menanggung beban yang aku rasakan. Aku sakit parah, ketika itu yang aku pikirkan tak ada lagi kebahagian yang bisa aku rasakan. Aku banyak mengurung diri, mengucilkan diriku sendiri. Aku belum bisa belajar menerima keadaan, hingga aku jarang masuk sekolah. Surat demi surat panggilan peringatan telah dilayangkan padaku, namun tak aku hiraukan. Sampai suatu ketika aku memilih untuk menemui BK, karena kata temanku kalau aku tidak menemui BK juga maka aku akan di DO. Aku satu-satunya wanita yang masuk daftar siswi paling bermasalah di sekolah. Itu semakin menghancurkan hidupku, aku memilih untuk berubah setelah menemui BK. Perlahan aku mulai rajin masuk sekolah. Mulai menikmati kehidupanku, dan mulai belajar menerima apa yang terjadi padaku. Yang aku ingat ketika aku dipaksa bicara di ruang BK, guruku menanggapinya dengan berkata, “Kamu cantik, saya jujur. Bahkan dengan kamu gak senyum pun kamu sudah cantik. Apalagi kalo kamu belajar tersenyum, belajar ramah sama orang lain. Bukan hanya terlihat cantik, tapi juga lebih manis dan terkesan ramah. Kamu merasa dijauhi sama teman-temanmu karena mungkin mereka mendapatkan rasa kurang nyaman saat bersama kamu, mereka kaya bertemu dengan orang yang paling menakutkan. Karena kamu gak pernah senyum, coba belajar tersenyum dan bersikap ramah dari sekarang. Pasti kamu akan punya banyak teman, kalau ada yang negur kamu. Di jawab, jangan di cuekin. Itu yang bikin orang males deket sama kamu. Kamu juga mulai sekarang harus bisa menerima keadaan kamu yang sekarang, yang gak sama lagi kaya dulu. Kak Bekti yang harus transfusi darah 20 hari sekali aja bisa semangat. Masa kamu gak sih.” Begitulah, aku memutuskan untuk mulai bergabung dengan teman-temanku saat jam kosong atau istirahat. Tapi aku belum mulai berani bicara banyak apalagi  bercerita. Aku hanya sebagai penyimak saja, atau menanggapi dengan kata sederhana seperti “Oh.”, lebih panjang sedikit “Oh, Ya.” Atau “Masa sih?” dan “Terus?” agak panjang sedikit “Terus gimana?”
            Memasuki masa-masa kuliah, semester awal aku masih menunjukan grafik datar pada emosiku. Belum banyak berekspresi. Masih banyak yang enggan bicara denganku. Bahkan aku pernah mendengar teman satu prodi denganku berkata “Males ah, dia aja kaya gitu kalo di tegor. Gak bersahabat.” Saat itu kebetulan aku berpapasan dengan dia dan sahabatnya. Sahabatnya menyapaku, namun aku hanya membalasnya dengan ekspresi dingin dan tak bersahabat. Atau kalimat seperti “Jangankan cowok, setan aja pada segen sama dia.” Dan “Jangan sakit hati ngeliat senyumnya.”, “Senyum lu gak ngenakin.” Sudah akrab ditelingaku di semester awal dulu. Bahkan seorang dosen pernah merasa tersinggung melihat senyumku, katanya aku mengejek. Padahal aku tak seperti itu, aku berusaha tersenyum semanis dan setulus mungkin tapi malah di sangka mengejek.

            Memasuki semester pertengahan, aku sudah mulai bisa tersenyum dengan lebih baik dari semester awal. Bahkan aku mulai mencoba untuk berfoto senyum dan gigi yang diperlihatkan. Senyumku menjadi lebih tulus sekarang, ada beberapa yang memuji senyumanku. Dan aku hanya bisa membalasnya dengan senyum yang lebih baik lagi. Orang-orang disekitarku juga mulai mau menjalin komunikasi denganku, walaupun image tentang aku yang sulit didekati dan diakrabi mungkin masih melekat padaku. Tapi inilah aku yang kalian ketahui sekarang, kalian yang tak pernah tau aku dari awal tak akan pernah tau bahwa aku mengalami perubahan drastis saat memasuki masa kuliah, kalian yang baru mengenalku sekarang tak pernah tau bahwa aku belajar tersenyum dengan susah payah.

2 komentar:

  1. Inspiratif,..anak kedua sy jg agak begitu. Panggilannya "Tek" krn terkenal jutek atau cuek.

    BalasHapus
  2. ika gak jutek kok, manis.. malah kalo inget ika itu keibuan banget

    BalasHapus