Dulu orang-orang di
sekitarku tidak begitu menyukaiku, rata-rata dari mereka akan langsung menghindar
atau paling tidak menunduk atau memalingkan wajah jika berpapasan denganku.
Mereka rasanya enggan untuk berurusan denganku bahkan untuk menyapa saja rasanya
mereka terlalu segan.
Bukan hanya teman-teman atau tetanggaku yang seperti itu
bahkan keluargaku pun terkadang malas berbicara denganku, karena biasanya
ekspresiku hanya datar sambil menjawab seperlunya saja, sungguh berbanding
terbalik dengan studi ilmiah bahwa wanita menghabiskan 15000 kata perharinya
dan pria hanya sekitar 5000 kata perhari. Tapi, ini tidak berlaku untukku,
bahkan rasanya aku tak pernah bicara lebih dari 5000 kata perhari.
Selain jarang bicara, orang-orang juga segan karena
ekspresi wajahku yang datar, untuk mendapatkan senyum seperti foto di atas aku
berlatih selama bertahun-tahun untuk bisa tampak tersenyum tulus seperti itu.
Awalnya, mereka yang di sekitarku sering berkomentar “Senyum dong! Muka datar jangan dipelihara.” Atau pernah juga ketua
kelasku menuliskan catatan tentang teman-teman sekelasnya dan ia berkata “Ika Septiana Sanel, manusia yang entah
datangnya dari mana. Berwajah datar tanpa ekspresi, jarang tersenyum sekalinya
senyum maksa banget malah jadi keliatan ngenyek. Mungkin dia datang terlambat
waktu semua manusia di bumi ngantri muka. Dia juga jarang ngomong, sekalinya
ngomong orang-orang dibikin bingung sama omongannya. Yaudahlah mending gak usah
ngomong.” Kira-kira begitulah tanggapan banyak orang.
Selain tidak bisa tersenyum dengan baik aku juga tidak
bisa berbicara dengan baik, susunan tata bahasaku sangat kacau. Hingga butuh
latihan berbicara saat aku kuliah, agar tidak tampak seperti orang yang benar-benar
kacau cara bicaranya. Susunan kalimat yang aku ucapkan biasanya terdengar aneh
seperti “Gue gak apa apa kok sendirian, lu duluan aja.” Aku malah
mengucapkannya menjadi, “Gak apa-apa gue sendirian? Duluan aja lu.” Ini yang
membuat banyak orang bingung ketika aku berbicara. Biasanya mereka akan
langsung mengomentari cara aku berbicara. Walaupun sekarang aku sudah bisa
bicara banyak dengan tata bahasa yang cukup lumayan. Itu semua berkat latihan
dan kerja keras, serta memberanikan diri untuk bercerita dengan teman-temanku.
Padahal sebelum kuliah aku tidak pernah bercerita kepada siapapun, tapi
semenjak aku menemukan teman-teman yang aku rasa bisa dipercaya aku melakukan
itu.
Guru-guru SMPku juga sangat benci dengan ekspresi
datarku, ketika SMP dulu aku merupakan seorang dengan kepribadian buruk. Paling
suka melanggar peraturan, keluar masuk ruang BK sudah biasa buatku. Semua orang
di sekolah juga kenal siapa aku. Aku yang selalu berdiri di lapangan atau
paling tidak berdiri di luar kelas atau depan kelas saat pelajaran sosiologi
dan geografi. Aku yang sering dihukum jalan jongkok oleh guru fisika dan
olahraga. Aku yang sering kena semprot oleh wali kelasku, aku yang sering
diteriaki melalui pengeras suara oleh guru matematika karena ketahuan jajan di
kantin saat pelajaran sedang berlangsung. Aku yang dijuluki Miss Expresionless oleh guru bahasa Inggris dan Seni musikku serta aku yang dijuluki Manusia tanpa dosa oleh guru PLKJ dan Seni rupa. Karena aku selalu berekspresi datar seperti orang tak berdosa setiap kali melakukan kesalahan, berwajah polos kalau aku sedang dimarahi, seolah aku tak pernah berbuat kesalahan apapun. Masa SMP adalah masa-masa kejayaan
untuk kenakalanku. Tetapi pada masa ini aku masih memiliki grafik emosi, naik
turun seperti kebanyakan orang.
Memasuki masa-masa SMA, grafik emosiku mulai menurun lalu
mendatar seperti tidak memiliki emosi lagi. Aku tidak pernah terlihat marah,
ataupun tersenyum. Ekpresi yang paling sering aku tunjukan kalau bukan ekspresi
datar adalah ekspresi kesedihan. Aku sering menangis kala itu. Ekspresi
kejujuranku yang paling dalam.
Semua ekspresi itu bukan tanpa alasan, aku menangis
karena rasanya tak sanggup lagi menanggung beban yang aku rasakan. Aku sakit
parah, ketika itu yang aku pikirkan tak ada lagi kebahagian yang bisa aku
rasakan. Aku banyak mengurung diri, mengucilkan diriku sendiri. Aku belum bisa
belajar menerima keadaan, hingga aku jarang masuk sekolah. Surat demi surat
panggilan peringatan telah dilayangkan padaku, namun tak aku hiraukan. Sampai
suatu ketika aku memilih untuk menemui BK, karena kata temanku kalau aku tidak
menemui BK juga maka aku akan di DO. Aku satu-satunya wanita yang masuk daftar
siswi paling bermasalah di sekolah. Itu semakin menghancurkan hidupku, aku
memilih untuk berubah setelah menemui BK. Perlahan aku mulai rajin masuk
sekolah. Mulai menikmati kehidupanku, dan mulai belajar menerima apa yang terjadi
padaku. Yang aku ingat ketika aku dipaksa bicara di ruang BK, guruku
menanggapinya dengan berkata, “Kamu
cantik, saya jujur. Bahkan dengan kamu gak senyum pun kamu sudah cantik.
Apalagi kalo kamu belajar tersenyum, belajar ramah sama orang lain. Bukan hanya
terlihat cantik, tapi juga lebih manis dan terkesan ramah. Kamu merasa dijauhi
sama teman-temanmu karena mungkin mereka mendapatkan rasa kurang nyaman saat
bersama kamu, mereka kaya bertemu dengan orang yang paling menakutkan. Karena
kamu gak pernah senyum, coba belajar tersenyum dan bersikap ramah dari sekarang.
Pasti kamu akan punya banyak teman, kalau ada yang negur kamu. Di jawab, jangan
di cuekin. Itu yang bikin orang males deket sama kamu. Kamu juga mulai sekarang
harus bisa menerima keadaan kamu yang sekarang, yang gak sama lagi kaya dulu. Kak
Bekti yang harus transfusi darah 20 hari sekali aja bisa semangat. Masa kamu
gak sih.” Begitulah, aku memutuskan untuk mulai bergabung dengan
teman-temanku saat jam kosong atau istirahat. Tapi aku belum mulai berani
bicara banyak apalagi bercerita. Aku
hanya sebagai penyimak saja, atau menanggapi dengan kata sederhana seperti “Oh.”, lebih panjang sedikit “Oh, Ya.” Atau “Masa sih?” dan “Terus?”
agak panjang sedikit “Terus gimana?”
Memasuki masa-masa kuliah, semester awal aku masih
menunjukan grafik datar pada emosiku. Belum banyak berekspresi. Masih banyak
yang enggan bicara denganku. Bahkan aku pernah mendengar teman satu prodi
denganku berkata “Males ah, dia aja kaya
gitu kalo di tegor. Gak bersahabat.” Saat itu kebetulan aku berpapasan
dengan dia dan sahabatnya. Sahabatnya menyapaku, namun aku hanya membalasnya
dengan ekspresi dingin dan tak bersahabat. Atau kalimat seperti “Jangankan cowok, setan aja pada segen sama
dia.” Dan “Jangan sakit hati ngeliat
senyumnya.”, “Senyum lu gak ngenakin.” Sudah akrab ditelingaku di semester
awal dulu. Bahkan seorang dosen pernah merasa tersinggung melihat senyumku,
katanya aku mengejek. Padahal aku tak seperti itu, aku berusaha tersenyum
semanis dan setulus mungkin tapi malah di sangka mengejek.
Memasuki semester pertengahan, aku sudah mulai bisa
tersenyum dengan lebih baik dari semester awal. Bahkan aku mulai mencoba untuk
berfoto senyum dan gigi yang diperlihatkan. Senyumku menjadi lebih tulus
sekarang, ada beberapa yang memuji senyumanku. Dan aku hanya bisa membalasnya
dengan senyum yang lebih baik lagi. Orang-orang disekitarku juga mulai mau
menjalin komunikasi denganku, walaupun image tentang aku yang sulit didekati
dan diakrabi mungkin masih melekat padaku. Tapi inilah aku yang kalian ketahui
sekarang, kalian yang tak pernah tau aku dari awal tak akan pernah tau bahwa aku mengalami perubahan drastis saat memasuki masa kuliah, kalian yang baru
mengenalku sekarang tak pernah tau bahwa aku belajar tersenyum dengan susah
payah.
Inspiratif,..anak kedua sy jg agak begitu. Panggilannya "Tek" krn terkenal jutek atau cuek.
BalasHapusika gak jutek kok, manis.. malah kalo inget ika itu keibuan banget
BalasHapus