Tadi
kita berkumpul, seperti biasa berlima. Dua di antaranya laki-laki. Sahabat yang
entah sejak kapan terbentuk. Yang aku ingat kita selalu bersama sejak kita
masih kecil. Kita bercerita di tengah lapangan yang dulu sering kita gunakan
untuk bermain layangan, sekarang luasnya sudah semakin menyempit karena proyek
pembangunan rumah mewah. Dulu kita melihat banyak bintang di tengah lapangan
ini, sekarang hanya beberapa yang nampak.
Seseorang
memulai, Orang pertama memulai pertemuan sambil menyesap rokok di jarinya.
“Hari ini kita curhat lagi, tapi temanya tentang Cinta Tak Terungkap. Gimana?”
“Udah
pernah kan, yang lain lah.” Orang kedua menyela, aku hanya mengangguk. Rasanya
tema ini terlalu berat untukku. Ini adalah ritual kami berlima, setiap bulannya
kami akan berkumpul di tempat yang sama bertukar cerita setelah sebulan lamanya
kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Ini pertama kalinya aku kembali
hadir setelah bulan kemarin, absen karena urusan kuliah.
“Wahh,
gak bisa. Waktu itu Hanako gak ikut cerita, pas kita bahas tema beginian.
Hanako langsung diem gitu pas disebutin temanya. Hahahaha, galau dia, mau
cerita apa. Tapi kali ini lo musti cerita, no excuse lagi ya.” Orang ketiga,
yang duduk disebelahku menyetujui ucapan orang pertama, mungkin karena mereka
sama-sama laki-laki.
“Hanako-san,
sekarang harus cerita. Gak boleh diem lagi. Gak boleh ada yang disembunyiin
lagi dari kita.” Orang keempat yang duduk di depanku menatap mataku hangat.
Aku
menunduk, mengangguk. Memantapkan hatiku untuk ritual curhat malam ini. “Iya,
gue bakal cerita. Tapi, bisa gak kalian gak manggil gue Hanako lagi? Gue bete,
dipanggil kaya gitu. Emang gue hantu penjaga toilet SD apa?” Kemudian aku tersenyum.
Mereka tertawa, kemudian suasana mencair. Seperti itulah, berminggu-minggu tak
bertemu membuat aku menjadi orang paling kikuk di antara mereka. Mereka tahu,
tabiatku. Begitulah cara mereka akan mencairkan suasana. Aku dan mereka paham
itu.
Botol
bekas minuman soda mulai berputar untuk mencari mangsa pertama yang akan
membuka cerita malam ini. Semua diam memperhatikan botol yang berputar kemudian
berhenti di orang ketiga.
“Yah,
gue lagi yang pertama.” Kemudian ia mengambil rokok, ia menjadi perhatian kami
semua yang tak sabar mendengar ceritanya. “Kalo cerita gue sih, dulu waktu SMA
gue pernah suka sama cewek yang deket banget sama gue. Tapi gak bisa gue
ungkapin. Ya, gitu.” Ia menghisap rokoknya lagi, sambil menahan tawa. Orang
pertama mengumpat kesal. Aku tertawa geli, rindu dengan suasana ini yang entah
sudah berapa lama tak kurasakan bersama mereka.
“Gue
dulu suka sama seorang cewek yang deket sama gue, yang kemana-mana bareng sama
gue. Gue pikir dia punya perasaan yang sama kaya gue, sampe suatu ketika. Dia
cerita ke gue kalo dia lagi PDKT sama cowok lain. Langsung deh, kaya disamber
petir rasanya gue pengen teriak ‘JADI SELAMA INI KITA APA????’” Orang ketiga
berteriak sementara kami semua tertawa.
Semua
orang tak bisa memaafkan ceritanya barusan, cerita pembuka paling aneh dan
tidak jelas. Kami tidak bersimpati kepada ceritanya. Selesai bercerita, ia
buru-buru memutar kembali botolnya agar ritual cerita ini dapat ia akhiri.
Botol berhenti di orang kedua.
“Kalo
cerita gue, gue pernah suka sama cowok. Kalo dibilang ini cinta sama sahabat
sendiri. Tapi gue terlalu takut untuk bilang kalo gue jatuh cinta sama dia. Gue
Cuma bisa berharap waktu itu, supaya dia bisa ngerti perasaan gue. Tapi kayanya
itu gak mungkin, kalo gue aja gak pernah ngomong sama dia. Gue berusaha
baik-baik saja di depan dia. Padahal dalam hati gue dag dig dug gak karuan, gue
gak tau sejak kapan gue jatuh cinta sama dia.” Dia menahan napas, berusaha
menata hatinya. Kami terdiam, cerita ini sangat serius. Biasanya jika sudah
perempuan yang bercerita suasana akan menjadi hening dan tenang, saling
mendengarkan hati masing-masing. Aku tahu siapa laki-laki yang disukainya itu,
aku tahu. Tanpa harus ia cerita, aku tahu, kami yang perempuan tahu bahwa ia
menyukai salah satu di antara laki-laki itu. Cukup matanya yang berbicara,
seluruh alam sudah tahu.
Cerita
berlanjut ke orang ke empat. Cerita yang hampir sama, cinta pada teman
sekelasnya sendiri yang sudah punya pacar yaitu temannya sendiri. Kami semua
diam mendengarkan, sama seperti cerita tadi. Dia tersenyum sambil menahan air
mata, terlalu sulit memang untuk mempertahankan air mata di saat menceritakan
hal yang menyangkut masalah hati, perasaan dan emosi. Di akhir ceritanya ia tak
memutar botol, langsung menunjukku untuk bercerita, katanya biar suasananya
tetap hening saat aku cerita.
“Kalau
nanti ternyata botolnya berhenti di orang pertama, ia bisa saja merusak
suasana. Mending lo yang cerita sekarang.” Ia tersenyum. Aku mengangguk.
Aku
menghirup udara sekitar sebanyak-banyaknya, menenangkan diriku. Aku menunduk
seperti biasanya setiap akan bercerita, berpikir selama lima menit apa yang
harus aku katakan kepada mereka. Kata apa yang harus aku keluarkan untuk
pertama kali. Mereka paham itu, tak perlu bertanya kenapa, ada apa atau
sebagainya. Karena mereka tahu, pertanyaan itu tak akan kugubris.
“Sebenarnya,
gue benci waktu gue jatuh cinta. Gue ngerasa jadi orang yang paling tertekan,
jadi orang yang paling kikuk, karena setiap kali gue jatuh cinta gue gak akan
berani deket-deket sama orang itu, bahkan gue gak akan mampu natap matanya
lebih dari dua detik. Gue jadi lebih pemalu, gue ngerasa jadi orang yang paling
tersiksa setiap kali gue jatuh cinta, banyak harus gue tahan saat gue jatuh
cinta. Semuanya, emosi, perasaan, pikiran. Gue lebih banyak berandai-andai
setiap kali gue jatuh cinta. Banyak ngelamun, banyak berkhayal, banyak
senyum-senyum sendiri. Gue ngerasa jadi orang paling bodoh.”
“Setiap
kali gue jatuh cinta, gue Cuma bisa menikmatinya sendiri. Tanpa perlu orang itu
tahu, tanpa harus gue bicara. Gue Cuma berharap dia paham. Mungkin gue terkesan
polos, beda tipis sama bodoh. Tapi itulah gue tiap kali gue jatuh cinta.
Makanya gue benci diri gue, kalo gue lagi jatuh cinta.” Aku tertunduk, lalu
tersenyum. Memaklumi diri sendiri, berharap mereka juga memaklumi. Suasana
hening, semua hening. Seolah seluruh alam mendengarkan aku bercerita, cerita
cinta yang tak pernah aku ungkap. Seluruh alam tahu, bahwa saat itu aku sedang
menahan getaran yang ingin memecahbelahkan aku.
“Mungkin
benar, gue egois, keras kepala. Mungkin juga benar, Gue terlalu mencintai diri
gue sendiri sampai gue gak berani malu di depan orang yang gue suka. Gak
berani, atau gengsi bilang sayang, kangen, cinta atau apalah bahkan gue gak
pernah bilang sayang sama anggota keluarga gue sendiri. Tapi mereka paham, gak
perlu banyak bicara masalah cinta sama keluarga. Tapi, ini bukan cinta yang
sama, cinta ini lebih sulit. Mungkin dia ngerti, mungkin gak, mungkin masa
bodoh. Makanya, gue selalu tersiksa sama perasaan ini. Karena gue Cuma bisa
bertanya-tanya, Dia lagi apa. Cuma bisa berandai, kalo aja dia tahu tanpa harus
gue ngomong.” Aku masih tersenyum, namun aku lihat dua orang sahabatku,
menitikkan air mata seolah tahu apa yang aku rasakan saat ini.
“Dan
parahnya, sekarang gue lagi jatuh cinta. Gue jatuh cinta sama orang yang bahkan
senyumnya aja baru gue lihat beberapa hari yang lalu. Yang bahkan namanya aja
baru gue tahu sebulan yang lalu. Gue.....” Ada sesuatu yang menetes di
hidungku. Aku menengadah ke langit. “Ahhhh... Hujan....”
Hujan
mengakhiri cerita kami malam ini, karena kami berlari mencari tempat paling
aman untuk berteduh.
Jakarta,
30 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar