Kamis, 03 Juli 2014

Ritual Curhat

Tadi kita berkumpul, seperti biasa berlima. Dua di antaranya laki-laki. Sahabat yang entah sejak kapan terbentuk. Yang aku ingat kita selalu bersama sejak kita masih kecil. Kita bercerita di tengah lapangan yang dulu sering kita gunakan untuk bermain layangan, sekarang luasnya sudah semakin menyempit karena proyek pembangunan rumah mewah. Dulu kita melihat banyak bintang di tengah lapangan ini, sekarang hanya beberapa yang nampak.
Seseorang memulai, Orang pertama memulai pertemuan sambil menyesap rokok di jarinya. “Hari ini kita curhat lagi, tapi temanya tentang Cinta Tak Terungkap. Gimana?”
“Udah pernah kan, yang lain lah.” Orang kedua menyela, aku hanya mengangguk. Rasanya tema ini terlalu berat untukku. Ini adalah ritual kami berlima, setiap bulannya kami akan berkumpul di tempat yang sama bertukar cerita setelah sebulan lamanya kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Ini pertama kalinya aku kembali hadir setelah bulan kemarin, absen karena urusan kuliah.
“Wahh, gak bisa. Waktu itu Hanako gak ikut cerita, pas kita bahas tema beginian. Hanako langsung diem gitu pas disebutin temanya. Hahahaha, galau dia, mau cerita apa. Tapi kali ini lo musti cerita, no excuse lagi ya.” Orang ketiga, yang duduk disebelahku menyetujui ucapan orang pertama, mungkin karena mereka sama-sama laki-laki.
“Hanako-san, sekarang harus cerita. Gak boleh diem lagi. Gak boleh ada yang disembunyiin lagi dari kita.” Orang keempat yang duduk di depanku menatap mataku hangat.
Aku menunduk, mengangguk. Memantapkan hatiku untuk ritual curhat malam ini. “Iya, gue bakal cerita. Tapi, bisa gak kalian gak manggil gue Hanako lagi? Gue bete, dipanggil kaya gitu. Emang gue hantu penjaga toilet SD apa?” Kemudian aku tersenyum. Mereka tertawa, kemudian suasana mencair. Seperti itulah, berminggu-minggu tak bertemu membuat aku menjadi orang paling kikuk di antara mereka. Mereka tahu, tabiatku. Begitulah cara mereka akan mencairkan suasana. Aku dan mereka paham itu.
Botol bekas minuman soda mulai berputar untuk mencari mangsa pertama yang akan membuka cerita malam ini. Semua diam memperhatikan botol yang berputar kemudian berhenti di orang ketiga.
“Yah, gue lagi yang pertama.” Kemudian ia mengambil rokok, ia menjadi perhatian kami semua yang tak sabar mendengar ceritanya. “Kalo cerita gue sih, dulu waktu SMA gue pernah suka sama cewek yang deket banget sama gue. Tapi gak bisa gue ungkapin. Ya, gitu.” Ia menghisap rokoknya lagi, sambil menahan tawa. Orang pertama mengumpat kesal. Aku tertawa geli, rindu dengan suasana ini yang entah sudah berapa lama tak kurasakan bersama mereka.
“Gue dulu suka sama seorang cewek yang deket sama gue, yang kemana-mana bareng sama gue. Gue pikir dia punya perasaan yang sama kaya gue, sampe suatu ketika. Dia cerita ke gue kalo dia lagi PDKT sama cowok lain. Langsung deh, kaya disamber petir rasanya gue pengen teriak ‘JADI SELAMA INI KITA APA????’” Orang ketiga berteriak sementara kami semua tertawa.
Semua orang tak bisa memaafkan ceritanya barusan, cerita pembuka paling aneh dan tidak jelas. Kami tidak bersimpati kepada ceritanya. Selesai bercerita, ia buru-buru memutar kembali botolnya agar ritual cerita ini dapat ia akhiri. Botol berhenti di orang kedua.
“Kalo cerita gue, gue pernah suka sama cowok. Kalo dibilang ini cinta sama sahabat sendiri. Tapi gue terlalu takut untuk bilang kalo gue jatuh cinta sama dia. Gue Cuma bisa berharap waktu itu, supaya dia bisa ngerti perasaan gue. Tapi kayanya itu gak mungkin, kalo gue aja gak pernah ngomong sama dia. Gue berusaha baik-baik saja di depan dia. Padahal dalam hati gue dag dig dug gak karuan, gue gak tau sejak kapan gue jatuh cinta sama dia.” Dia menahan napas, berusaha menata hatinya. Kami terdiam, cerita ini sangat serius. Biasanya jika sudah perempuan yang bercerita suasana akan menjadi hening dan tenang, saling mendengarkan hati masing-masing. Aku tahu siapa laki-laki yang disukainya itu, aku tahu. Tanpa harus ia cerita, aku tahu, kami yang perempuan tahu bahwa ia menyukai salah satu di antara laki-laki itu. Cukup matanya yang berbicara, seluruh alam sudah tahu.
Cerita berlanjut ke orang ke empat. Cerita yang hampir sama, cinta pada teman sekelasnya sendiri yang sudah punya pacar yaitu temannya sendiri. Kami semua diam mendengarkan, sama seperti cerita tadi. Dia tersenyum sambil menahan air mata, terlalu sulit memang untuk mempertahankan air mata di saat menceritakan hal yang menyangkut masalah hati, perasaan dan emosi. Di akhir ceritanya ia tak memutar botol, langsung menunjukku untuk bercerita, katanya biar suasananya tetap hening saat aku cerita.
“Kalau nanti ternyata botolnya berhenti di orang pertama, ia bisa saja merusak suasana. Mending lo yang cerita sekarang.” Ia tersenyum. Aku mengangguk.
Aku menghirup udara sekitar sebanyak-banyaknya, menenangkan diriku. Aku menunduk seperti biasanya setiap akan bercerita, berpikir selama lima menit apa yang harus aku katakan kepada mereka. Kata apa yang harus aku keluarkan untuk pertama kali. Mereka paham itu, tak perlu bertanya kenapa, ada apa atau sebagainya. Karena mereka tahu, pertanyaan itu tak akan kugubris.
“Sebenarnya, gue benci waktu gue jatuh cinta. Gue ngerasa jadi orang yang paling tertekan, jadi orang yang paling kikuk, karena setiap kali gue jatuh cinta gue gak akan berani deket-deket sama orang itu, bahkan gue gak akan mampu natap matanya lebih dari dua detik. Gue jadi lebih pemalu, gue ngerasa jadi orang yang paling tersiksa setiap kali gue jatuh cinta, banyak harus gue tahan saat gue jatuh cinta. Semuanya, emosi, perasaan, pikiran. Gue lebih banyak berandai-andai setiap kali gue jatuh cinta. Banyak ngelamun, banyak berkhayal, banyak senyum-senyum sendiri. Gue ngerasa jadi orang paling bodoh.”
“Setiap kali gue jatuh cinta, gue Cuma bisa menikmatinya sendiri. Tanpa perlu orang itu tahu, tanpa harus gue bicara. Gue Cuma berharap dia paham. Mungkin gue terkesan polos, beda tipis sama bodoh. Tapi itulah gue tiap kali gue jatuh cinta. Makanya gue benci diri gue, kalo gue lagi jatuh cinta.” Aku tertunduk, lalu tersenyum. Memaklumi diri sendiri, berharap mereka juga memaklumi. Suasana hening, semua hening. Seolah seluruh alam mendengarkan aku bercerita, cerita cinta yang tak pernah aku ungkap. Seluruh alam tahu, bahwa saat itu aku sedang menahan getaran yang ingin memecahbelahkan aku.
“Mungkin benar, gue egois, keras kepala. Mungkin juga benar, Gue terlalu mencintai diri gue sendiri sampai gue gak berani malu di depan orang yang gue suka. Gak berani, atau gengsi bilang sayang, kangen, cinta atau apalah bahkan gue gak pernah bilang sayang sama anggota keluarga gue sendiri. Tapi mereka paham, gak perlu banyak bicara masalah cinta sama keluarga. Tapi, ini bukan cinta yang sama, cinta ini lebih sulit. Mungkin dia ngerti, mungkin gak, mungkin masa bodoh. Makanya, gue selalu tersiksa sama perasaan ini. Karena gue Cuma bisa bertanya-tanya, Dia lagi apa. Cuma bisa berandai, kalo aja dia tahu tanpa harus gue ngomong.” Aku masih tersenyum, namun aku lihat dua orang sahabatku, menitikkan air mata seolah tahu apa yang aku rasakan saat ini.
“Dan parahnya, sekarang gue lagi jatuh cinta. Gue jatuh cinta sama orang yang bahkan senyumnya aja baru gue lihat beberapa hari yang lalu. Yang bahkan namanya aja baru gue tahu sebulan yang lalu. Gue.....” Ada sesuatu yang menetes di hidungku. Aku menengadah ke langit. “Ahhhh... Hujan....”
Hujan mengakhiri cerita kami malam ini, karena kami berlari mencari tempat paling aman untuk berteduh.
                                                                                   

Jakarta, 30 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar