Rabu, 16 Juli 2014

Bohong

Pukul 13.00, waktu untuk belajar menulis di sekolah. Ibu guru menyuruh kami menuliskan kejadian yang kami alami saat berangkat sekolah. Semua murid di kelas menulis bahwa mereka berangkat sekolah dengan diantar ayah, diantar supir, ada menulis bahwa mereka berangkat dengan naik taksi, ada yang bersepeda bersama kawan-kawan dan perjalanan mereka menyenangkan hingga sampai di sekolah. Hanya aku yang menulis bahwa aku berangkat sekolah dengan jalan kaki, aku berjalan setengah berlari karena takut terlambat. Ibu guru hanya menggelengkan kepalanya.

Aku menuliskan bahwa di perjalanan tadi, aku melihat sebuah kecelakaan. Seorang siswa SMA mengalami kecelakaan di jalan yang aku lewati pada pukul 12.00. Mobilnya menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga mobil mewah itu ringsek tak berbentuk. Ibu guru marah membaca tulisanku, katanya aku mengarang cerita, aku seorang pembohong, harusnya aku menulis sebuah kebenaran. Aku bilang, aku tidak berbohong. Tapi, ibu guru tidak percaya. Ia tetap menuduhku sebagai seorang pembohong, katanya mana mungkin aku bisa melihat kejadian itu sedangkan aku berada di sekolah sejak pagi. Aku ingin menjelaskan, tapi ibu guru tak mau mendengar penjelasan dari seorang yang katanya pembohong. Lalu aku berteriak, "Siswa itu, anak Ibu guru." Ibu guru lantas menaparku, menyuruhku untuk berhenti bicara dan membantah perkataannya. Ibu guru menghukumku berdiri di lapangan yang panas tanpa alas kaki, agar aku jera dan tak akan berbohong lagi.

Setelah puas melihat aku berjinjit-jinjit kepanasan, ia beranjak pergi meninggalkan aku di lapangan dalam keadaan telapak kaki terbakar, aku sudah hampir pingsan. Seorang guru lain mendekati Ibu guru, menyuruhnya agar berhenti menghukumku, tapi ibu guru malah menjawabnya dengan perkataan "Seorang pembohong harus dihukum seberat-beratnya. Karena kalau tidak, kebohongannya akan menjadi sebuah kebenaran yang akan diyakini oleh banyak orang. Semua orang akan bilang bahwa ia benar, padahal ia hanya seorang pembohong." Lalu guru lain itu pergi meninggalkan kami berdua, membiarkan kami menyelesaikan urusan kami. Sementara guru lain, mereka enggan tahu. 

Ibu guru berjalan meninggalkanku, lalu ponselnya berbunyi. Ia mengangkat telepon, lalu berbicara seanggun mungkin. Tapi kemudian aku melihatnya meneteskan air mata kian lama kian deras. Ibu guru memeluk kakiku, memohon anaknya dikembalikan. Aku hanya bisa bilang, "Aku bisa apa. Aku hanya seorang yang katanya pembohong."

Ibu guru meminta penjelasan kepadaku, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia masih yakin bahwa seluruh alam ini sedang membohonginya.

"Ibu guru sendiri yang bilang bahwa aku sekolah bohong-bohongan agar dipandang orang sebagai orang yang berpendidikan, ibu guru sendiri yang bilang aku belajar hanya bohong-bohongan supaya dibilang pintar, ibu guru juga bilang bahwa semua ucapanku itu bohong. Ibu guru tidak mau tahu, ibu guru tak mau mendengar penjelasanku, aku tidak berbohong. Tadi pukul 11.30 saat istirahat, aku pulang ke rumah. Aku berbohong kepada guru piket bahwa buku pelajaranku ketinggalan di rumah, padahal aku pulang karena ingin makan masakan ibuku. Jajanan di kantin saat ini sangat mahal, uangku tak cukup untuk membelinya. Pukul 11.55 aku berangkat kembali ke sekolah, pukul 12.00 saat di perjalanan aku melihat kerumunan, ternyata ada kecelakaan, korbannya seorang anak SMA."

Ibu guru masih menangis sambil memeluk kakiku, "Aku tidak berbohongkan, Bu. Coba Ibu baca kembali tulisanku. Aku menulis Saat aku berangkat kembali ke sekolah, bukan saat aku berangkat sekolah. Seharusnya ibu cermati dulu sebelum menuding dan menghukumku. Aku tidak berbohong kan?!" Aku menatapnya dengan perasaan tak berdosa, membiarkannya terus berlutut di depanku.

"Harusnya kamu memberitahukan aku dari awal, bahwa korbannya anakku." Ia berteriak padaku.

"Sebenarnya aku tidak tahu bahwa itu anak ibu guru, aku hanya berbohong. Supaya ibu guru membebaskan aku dari hukuman." Aku tersenyum polos.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar