Kamis, 24 Juli 2014

Cerpen: Lelaki di Hutan Pelangi

Lagi buka-buka folder tugas kuliah, eh nemu cerpen aku yang aku buat waktu kuliah apresiasi drama waktu semester 2 lalu. Jadi, geli sendiri bacanya. Waktu itu tugas ini dibuat untuk memenuhi syarat UAS. Yah, karena belum pinter nulis. Maafin aja ya, kalo cerpennya jelek. Kayanya sampai sekarang ini, aku belum banyak berubah. Masih belum pinter nulis deh. Hehehehe. 


_______________________________________________________________________

Lelaki di Hutan Pelangi

Lelaki itu, yang mengajari aku berbagai warna di dunia ini. Menceritakan aku tentang pelangi yang selalu muncul setelah hujan, aku merindukannya disetiap hari, rindu harum tubuhnya aku rindu suara paraunya. Di hutan pelangi tempat kami selalu bertemu dulu, kami menghabiskan waktu dengan memandang telaga yang katanya selalu biru dan setelah itu ia akan mengajakku terbang melewati angin yang menerpa wajahku.
            Hari ini, disaat aku benar-benar merindukannya. Aku duduk diteras rumahku tempat kami bertemu untuk pertama kalinya dulu, dulu sekali sebelum kami berpisah. Aku mereka-reka wajahnya mengingatnya kembali, tapi aku tak pernah bisa melukiskan kembali wajahnya. Aku merindukan laki-laki itu dan hutan pelangi.
            “Bangun, bangun nak!” entah bagaimana wajah Bunda saat membangunkanku, sepertinya ia sangat panik, aku rasakan bahwa baju tidurku hampir seluruhnya basah oleh keringat.
            “Aku mimpi ya Bun? Tapi semuanya gelap, aku tak bisa melihat apapun dalam mimpiku. Apakah itu artinya aku bermimpi Bunda?” Aku meraba kasur tempatku duduk saat ini, mencari benda yang aku butuhkan sebelum aku beranjak dari kamarku.
            “Kamu mandi dulu ya nak” aku mengangguk pelan lalu aku dengar suara pintu berdecit, Bunda telah keluar dari kamarku.
            Biasanya setelah mandi bunda akan menyisir rambutku lalu memakaikannya bandana, yang hingga suatu hari nanti aku tahu bahwa bandana yang kukenakan setiap harinya berwarna merah. Setiap hari aku selalu bertanya kepada bunda baju warna apakah yang aku kenakan hari ini, tapi aku tak pernah bertanya kepada bunda tentang bandana itu. Setelah itu bunda akan mengajakku pergi ke teras rumah, lalu menyuapiku makan setelah itu bunda akan meninggalkanku karena ia punya banyak pekerjaan rumah, lalu aku akan menghabiskan waktuku seharian diteras itu tanpa melakukan apapun, begitulah setiap harinya hingga aku bertemu dengan laki-laki itu.
            Kadang aku benar-benar merasa bosan dengan kehidupanku, tapi suara-suara yang aku dengar selalu menghiburku, aku menerka-nerka suara apa itu.  Jika bunda menemaniku maka bunda akan memberitahuku suara apa yang kudengar terkadang bunda bercerita tentang apa yang ada disekeliling kami, dan itu menyenangkan untukku karena semua yang kulihat disetiap harinya adalah kegelapan, siang malam semuanya sama, gelap untukku.
            Matahari, bulan dan bintang yang katanya terang untukku hanyalah gelap tanpa titik cahaya sedikitpun, anjing tetangga yang katanya lucu hanya gelap dimataku, bagaimana mungkin aku mengerti tentang lucu kalau aku saja tak pernah tahu bagaimana lucu itu, suatu hari aku pernah bertanya kepada bunda tentang lucu.
            “Bunda, lucu itu seperti apa ya?” aku agak ragu dengan pertanyaan ini.
            “Lucu itu adalah hal yang bisa membuatmu tertawa, nak.” Kalimat yang keluar dari mulut bunda adalah mantra-mantra ajaib, tuturannya lembut hingga aku betah berlama-lama didekatnya.
            “Kalau lucu itu adalah hal yang bisa membuat kita tertawa, mengapa bunda tidak tertawa saat melihat anjing tetangga yang lucu itu, dan mengapa bunda tidak pernah tertawa disaat yang lain tertawa?”
            “Bunda tertawa nak, hanya saja tak bersuara. Karena seorang wanita tidak boleh tertawa keras, cukup tersenyum saja. Makanya bunda tidak terdengar tertawa.” Suaranya tetap saja lembut walaupun aku selalu bertanya macam-macam yang mungkin saja membuatnya jengkel.
            “Bunda apakah aku pernah tertawa? Ini pertanyaan terakhir Bunda.”
            “Kamu selalu tersenyum. Bunda tak tahu apakah kamu tertawa atau hanya tersenyum saja, cuma kamu yang tau nak.”
            Setiap hari selama bertahun-tahun aku selalu bertanya hal-hal yang aneh, namun bunda selalu menjawab dengan lembut dan tulus. Bunda mengajari aku tentang hidup, bunda mengajari aku tentang apa yang aku lihat, kata bunda apa yang kulihat berwarna hitam, baju yang aku kenakan berwarna putih.
            Pagi gelapku mulai mengintip dari celah-celah jendelaku, rasa panas membakar kulit hingga aku terbangun dari tidurku, rutinitasku adalah sama setiap harinya. Namun, pagi itu berbeda, disaat aku duduk diteras rumahku aku dikejutkan oleh suara parau seorang laki-laki yang tak pernah kukenal, ia duduk disampingku aku dengar suara bangkunya berdecit  saat ia duduk.
            “Hai, setiap pagi aku selalu melihatmu di teras ini dan sore juga kamu selalu duduk di teras ini, kadang siang juga kamu duduk di teras ini. Memang kamu nggak punya aktivitas apa-apa ya?”
            “Siapa kamu? Nggak sopan masuk ke rumah orang seenaknya.”
            “Oh, maaf. Aku tetangga kamu, baru pindah seminggu yang lalu. Aku heran aja ngeliat kamu duduk seharian di teras emang nggak bosen apa? Oiya, aku Damar aku kuliah di Instititut Seni Rupa Mandala. Boleh, tau siapa nama kamu?” suaranya parau dan bicaranya agak cepat aku kurang bisa menangkap apa yang ia bicarakan tadi.
            “Aku Lily, kamu cerewet ya.” Jawabku singkat karena aku lupa dengan apa yang ia bicarakan tadi, namun setelah kejadian itu aku selalu mengingat-ingat kejadian itu disetiap harinya.
            “Sekali lagi maaf, aku cuma penasaran aja sama kamu. Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, apa kamu nggak bosen terus-terusan ada diteras rumah? Kenapa nggak main aja?” pertanyaan itu agak memaksa sepertinya.
            “Ya bosen. Tapi, kalo ada Bunda jadi nggak terlalu bosen. Aku nggak bisa main keluar kalo nggak ditemenin Bunda, aku buta aku nggak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Bunda nggak pernah ngizinin aku keluar rumah selain disekeliling rumah ini.” Dua kalimat terakhir sepertinya terdengar sedikit memelas.
            “Aku tau kalo kamu buta dan omong kosong kalo kamu nggak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain. Nanti, aku yang ajak kamu main, aku ajarin kamu hidup tanpa ngebebanin orang lain. Aku janji.”
            Bunda menghampiri kami lalu Damar meminta izin kepada Bunda untuk mengajakku jalan-jalan disekitar kampung, Bunda mengizinkan kami pergi dengan syarat harus kembali tepat  jam lima sore. Aku agak gemetar saat melangkahkan kakiku keluar dari pagar rumahku, baru kali ini aku pergi dengan orang yang baru saja aku kenal, dan dengan mudah bunda memberikan izin kepadanya.
            Ia tak menggandengku seperti Bunda saat kami keluar rumah, ia membiarkanku menerka-nerka jalanku dengan tongkat. Terkadang dia mengarahkan tongkatku kalau aku salah arah, atau menarik lenganku kalau ada sesuatu yang berbahaya untukku. Baru kali ini aku merasakan nyaman berada disisi orang lain selain bundaku. Baru kali ini.
            Ia mengajakku kesuatu tempat yang sejuk dan berangin, katanya itu hutan pelangi. Ada banyak warna yang bisa kami temui disini. Warna yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku banyak bertanya tentang warna padanya sejak itu. Darinyalah aku tahu bahwa bandana yang aku kenakan selalu berwarna merah, dan baju yang kukenakan selalu berwarna putih, darinya aku tahu warna rambutku hitam mengilat dan berombak, darinya aku tahu bahwa kulitku kuning langsat dan bibirku merah jambu, yang semuanya dulu gelap bagiku. Aku semakin penasaran dengan warna-warna itu dan terkadang aku tak bisa tidur membayangkan warna-warna itu, sama seperti dulu saat aku membayangkan wajah bunda yang sampai saat ini masih belum selesai juga.
            “Aku akan mengajakmu terbang.” Suaranya paraunya bersemangat, lalu ia menggandeng tanganku dan mengajakku duduk di papan yang berayun-ayun, ia menyuruhku berpegangan pada talinya. Mula-mula aku tak mengerti dan aku turuti saja perintahnya, angin menggoyang-goyangkan benda yang aku duduki saat ini. Ia mulai mendorongku, awalnya pelan saja dan aku masih belum merasakan apapun selain angin yang membelai-belai rambutku aku hanya tersenyum kecil.
            “Apa ini yang namanya terbang? Hanya seperti ini aku tak merasakan apapun yang menyenangkan.” Lalu ia mendorongku semakin kuat dan semakin kuat, hingga aku merasakan diriku dalam berbagai keadaan, senang, takut dan lain sebagainya yang tak bisa kujelaskan, aku mulai menjerit lama-kelamaan jeritan bercampur tawaku semakin kencang namun berlalu diterbangkankan oleh angin yang kini seolah menampar-nampar mukaku.
            “Aku terbang, dan aku bahagia.” Teriakku sebelum benda itu berhenti berayun.
            “Itu namanya ayunan, aku suka bermain ayunan kalo aku lagi sendirian. Itu bikin aku bahagia sama kayak kamu tadi. Aku cuma mau nunjukin ke kamu kalo ini baru hidup, hidup itu kayak naik ayunan tadi. Menurut aku sih begitu, kalo kamu nggak tau deh.”
            “Aku setuju sama kamu, setuju banget.” Aku mengangguk menyakinkan, walaupun aku tidak mengerti apa maksud dari pernyataannya tadi. Tapi aku yakin dia benar.
            Untuk kedua kalinya ia menggandeng tanganku, ia menyuruhku duduk diatas bangku panjang. Ia membawakanku minuman kaleng yang aku yakini bahwa itu rasa jeruk. Hari ini aku merasakan kebahagian yang amat sangat lalu aku ingin mengulanginya lagi dan lagi disetiap harinya, namun kadang ia tak datang ke rumahku hingga aku nekat datang sendiri ke tempat itu. Aku pernah melakukan hal itu hingga beberapa kali, dan ia amat terkejut karena aku sudah mampu menghapal jalan. Dan aku merasa hebat karenanya, bisa melakukan hal yang aku mau tanpa bantuan orang lain lagi, dan aku merasa hidupku benar-benar berarti setelah aku mengenalnya. Ia mengajariku banyak hal yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Seperti hari itu saat aku menanyakan warna biru yang ia katakan padaku, bahwa telaga yang ada dihadapanku berwarna biru dan langit berwarna biru.
            “Warna biru itu seperti apa ya?” Aku tak mampu lagi membendung rasa penasaranku terhadap warna-warna yang ada disekeliling kami. Aku menerka bagaimana warna biru, namun tetap saja tak pernah berhasil.
            “Biru itu seperti.. Hmm.. Ya seperti saat kamu terbang. Bahagia dan sejuk, itu untuk saat ini. Nanti suatu saat kamu pasti ngerti warna biru itu seperti apa.”
            “Tapi kan, aku... Bagaimana aku bisa ngerti, kalo aku saja nggak pernah liat biru itu seperti apa.” Aku hampir menangis dengan perkataanku ini, mengapa ia begitu yakin bahwa aku akan mengerti tentang warna-warna di dunia ini.
            “Kamu bisa Ly, kamu bisa liat warna disekeliling kamu. Bukan dengan mata, tapi dengan hatimu, dengan perasaanmu. Aku kasih tau konsep tentang warna supaya kamu ngerti. Warna merah itu ketika kamu marah dan itu warna bandanamu, warna hitam apa yang kamu liat saat ini, warna putih itu warna baju yang selalu kamu pakai, warna hijau itu ada direrumputan dan pepohonan, warna kuning itu warna ketika kamu bersedih, warna merah jambu itu ketika kamu jatuh cinta. Ya, kurang lebih seperti itu.”
            “Jatuh cinta?” aku terperangah dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan. Jatuh cinta, apakah aku pernah mengalaminya, aku sendiri pun tak tau apa-apa tentang cinta. Aku merasakan getaran yang aneh pada tubuhku, jantungku rasanya ingin meledak.
            “Ya, aku rasa semua orang pernah jatuh cinta.”
            “Bagaimana dengan aku?”
            “Entahlah, aku rasa iya.” Jawabannya singkat, namun aku rasa benar.
            Bintang mengintip dari tirai-tirai persembunyiannya, katak dan jangkrik saut menyaut saling mengejek. Aku duduk diteras rumahku, aku merasa merindukan teras ini karena sejak bertemu dengan Damar aku jarang sekali duduk menghabiskan waktuku diteras ini. Damar lelaki berbau pinus dari hutan pelangi yang tak pernah kutahu parasnya. Aku merindukannya sepanjang hari.
            Bunda datang membawakanku secangkir wedang jahe untuk menghangatkan tubuh, karena malam ini memang sangat dingin tak seperti malam-malam sebelumnya. Malam ini seolah sebagai isyarat bahwa aku akan menemui warna kuning, aku merasa.
            “Bunda, apa itu cinta?”
            Agaknya bunda terkejut dengan pertanyaanku, ia lama berpikir sebelum ia menjawab pertanyaanku. biasanya bunda tak akan membiarkan aku menunggu lama atas jawabannya, aku mendengarnya menarik napas panjang sebelum ia mengatakannya kepadaku.
            “Cinta itu.. Rasa nyaman berada didekat seseorang, kamu tak ingin berpisah dengannya, setiap hari kamu selalu ingin bertemu dengannya. Ya, sesederhana itu.”
            Aku rasa bunda salah dengan jawabannya kali ini, tidak sesederhana itu untukku. Bagiku itu lebih dari sulit, tapi aku menganggukkan kepalaku lebih dari tiga kali, aku rasa. Lelaki berbau pinus dari hutan pelangi, aku merindukannya disepanjang hari.
            “Apa aku saat ini sedang jatuh cinta Bunda? Aku merasa nyaman saat aku bersama Damar, aku merindukannya disepanjang hari. Aku tak ingin waktu cepat berlalu saat aku bersamanya. Ia adalah sayap kebisuan untukku, ia mengepakkan sayapnya dan mengajakku terbang Bunda. Bunda mengertikan?” Aku bicara setengah berteriak, yang membuat bunda terkejut karena baru kali ini aku bicara dengan amat keras padanya, perasaan ini sangat menyiksaku.
            “Bunda rasa iya. Bunda pergi kekamar ya. Bunda mau tidur.”
            Damar, lelaki berbau pinus dari hutan pelangi. Aku merindukannya disepanjang hari.
            Matahari naik keperaduannya, siang menjelang. Sudah tiga hari semenjak pertemuan terakhir kami di hutan pelangi, mengeja warna satu persatu. Aku belum bertemu dengannya lagi, tak ada kabar darinya. Dia tidak tahu bahwa aku merindukannya semenjak pertemuan pertama kami. Aku merindukannya hingga keurat sarafku, aku merindukannya. Apakah ia tahu tentang hal itu, apakah ia tahu bahwa disetiap hari aku mengeja namanya satu persatu, mancari artinya dan membawanya kealam mimpiku.
            Aku mengambil tongkat penuntunku, aku pergi mengahapal jalan kehutan pelangi, angin menuntunku pergi kesana, perasaanku tak menentu kali ini. Ada rasa cemas, ketakutan dan entah rasa apa yang menyelimuti tubuhku saat ini. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku merindukannya dan aku ingin selalu bersamanya. Aku tak mau kehilangannya. Tapi, bagaimana mungkin ia mau menerima keadaanku yang seperti ini. Mungkin setelah aku mengatakannya ia akan meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku dapat menemani hari-harinya jika nanti ia meninggalkan aku. Aku urungkan niatku untuk mengatakan bahwa aku merindukannya dan aku mencintainya. Aku pendam dalam hatiku, sampai nanti suatu saat aku mengatakan juga kepadanya.
            Aku tak pernah menemukannya, hingga hari-hari berikutnya. Berminggu-minggu aku menunggunya ia tak pernah datang lagi kepadaku. Aku ingin ia tahu bahwa aku sekarang  telah mengerti tentang warna. Aku dapat mengejanya satu persatu, aku dapat melihat pelangi setelah hujan seperti yang ia katakan. Aku dapat mengeja pepehonan dan rerumputan yang hijau. Aku dapat memilih-milih bandanaku yang semuanya berwarna merah seperti katanya dulu, aku dapat memilih bajuku yang semuanya berwarna putih. Aku dapat mengenali wajahku sendiri sama seperti patung kayu yang ia buatkan dulu.
            Setiap hari aku tak lagi duduk diteras, mengahabiskan waktuku. Aku dapat mengerjakan pekerjaanku sendiri. Hidupku berpelangi seperti katanya dulu bahwa aku akan mengerti bahwa duniaku penuh warna bukan hanya hitam. aku mulai mencari warna lain dalam hidupku. Aku memilah-milah baju dan bandana dengan warna yang aku sukai. Aku merasa hidupku menjadi lebih dan lebih berarti sekarang, tapi aku merasa kurang. Aku masih merindukan laki-laki berbau pinus itu.
            Aku ayunkan tongkatku kembali, menerka-nerka jalanku dulu dengan berbagai warna saat ini, aku ingin bertemu dengan lelaki itu,  aku merindukannya. Aku menapaki jalanku, sungguh semuanya terasa berwarna sekarang. Apa aku tersesat sekarang, tak ada hutan disini, tak ada. Hanya kawanan burung layang-layang yang terbang kesana-kemari. Beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng dan merdeka serta beberapa ibu-ibu yang menatapku aneh. Ada apa pikirku? Aku membiarkan mereka hingga aku berlalu.
            Tak ada hutan, sungguh tak ada hutan disini. Hanya rumah-rumah penduduk yang berhalaman luas, aku bingung dengan semua keadaan ini. Sepertinya jalan yang aku terka-terka ini benar, ini jalan kehutan pelangi. Namun tak pernah aku temukan hutan, semuanya rumah-rumah penduduk yang berhalaman luas tanpa pagar.
            “Pak, dimana letak hutan pelangi?” aku menghentikan seorang pria paruh baya yang sedang berjalan tergesa-gesa.
            “Hutan pelangi? Nggak tau tuh. Kayaknya nggak ada deh! Baru dengar saya.” Ia menyipitkan matanya padaku.
            “ Nggak tau ya, oh terima kasih Pak.”
Pria paruh baya itu kembali berjalan tergesa-gesa, aku menatapi punggungnya dari kejauhan. Sampai pria itu berbelok pada satu tikungan disudut jalan.
            “INSTITUT SENI RUPA MANDALA” tulisannya besar-besar dan tebal, didepannya ada sebuah pos jaga berlukisan pepohonan dan pelangi, serta kolam ikan yang dicat biru pada dasarnya, lalu ayunan yang dimainkan oleh beberapa orang mahasiswa. Bukankah ini Jakarta? Lalu selembar kertas melayang jatuh dikakiku: SELAMAT JALAN KAWAN: DAMAR ANGGARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar