Sabtu, 12 Juli 2014

Ritual Curhat: Masih tentang Cinta

Seperti biasa kami melakukan ritual curhat kami, kali ini ritual itu dipercepat karena bulan ini teman-temanku akan pulang ke kampungnya masing-masing. Seperti biasa obrolan kami hanya seputar masalah cinta, dosen yang baik hati sampai yang nyebelin, teman-teman kampus yang aneh padahal kami tak mengenal orang yang diceritakan itu, cerita horor dan lain sebagainya. Tapi kami menikmati ritual ini, ritual yang mempererat ikatan yang rasanya lebih dari sahabat ini.
            Kali ini kami bercerita tanpa tema, terserah mau cerita apa saja yang pasti setiap orang harus cerita. Tapi lagi-lagi tanpa harus diberi temapun ternyata kami semua bercerita tentang cinta. Mulai dari cinta yang tak terungkap seperti cerita ritual dua bulan kemarin, cerita PDKT sampai cerita putus cinta. Kami memilih orang yang akan bercerita dengan bermain ABC Lima Dasar, yang tidak bisa menjawab harus langsung bercerita.
            Aku yang paling lemah dalam permainan ini mendapat giliran pertama bercerita, masih sama seperti dua bulan yang lalu aku bercerita tentang cinta yang tak terungkap. Semua diam mendengarkan, di bawah sinar bulan purnama aku bercerita suasana mendadak syahdu seperti di pantai malam itu ketika pertama kali aku jatuh cinta padanya.
            Seperti biasa sebelum bercerita aku akan tersenyum kepada teman-temanku, menghela napas panjang barulah aku mulai bercerita. Aku bercerita dengan perasaan berdebar-debar seperti malam waktu pertama kali aku jatuh cinta padanya, punggungku panas dan napasku berat. Di saat ini aku benar-benar merindukannya.
            “Gue masih jatuh cinta sama orang itu seperti dua bulan lalu waktu pertama kali gue jatuh cinta sama dia. Seandainya gue bisa kembali ke malam itu gue pengen waktu dia minta api lampion itu, gue mau tuker posisi sama temen gue. Supaya pas dia dateng minta api lampion gue bisa liat dia lebih lama, gue bisa sadar lebih awal pas dia dateng.” Mataku mulai berkaca-kaca, aku benar-benar rindu.
            “Kalo gue ada di posisi temen gue waktu itu, gue bisa dengan lebih leluasa mandang dia, gue bisa liat matanya. Gak dari Cuma dari samping kaya waktu itu, pas dia pergi juga gue gak Cuma bisa liat punggungnya aja tapi bisa liat dia dari samping. Gue ngerasa temen gue beruntung banget ada di posisi itu.” Aku tersenyum kepada mereka sebelum melanjutkan ceritaku.
            “Saat ini gue ngerasa kangen banget sama dia. Pengen ngeliat dia walaupun Cuma sambil lewat aja, karena emang biasanya kaya gitu. Ketemu dia Cuma sambil lewat aja. Tanpa kata, tanpa sapa. Tapi rasanya gue jadi orang paling beruntung bisa ketemu dia saat itu.” Aku mulai meneteskan air mata, aku merasa hatiku sangat ngilu saat itu. Aku rindu dia yang tak pernah tau bahwa aku merindukannya, aku rindu tapi tak bisa menyampaikannya.
            Salah satu temanku menyela, “Hana, gue tau kok rasanya jadi lu. Kita semua di sini pernah ngerasainnya. Apalagi lo kan. Lo udah biasakan nyimpen cinta sendiri, nyimpen kangen sendiri. Kita semua di sini tau, biarpun lo yang paling lemah yang cengeng di antara kita semua, tapi lo yang paling kuat kalo masalah nahan emosi nahan perasaan. Lo orang yang sabar Na, kalo nanti lo dapetin cinta lo itu bukan lo yang beruntung karena bisa dapetin dia tapi dia yang beruntung karena bisa naklukin hati lo, karena lo orang yang paling tulus dalam melakukan segala hal di sini. Gue jarang ngedenger lo ngedumel kalo ngerjain apa-apa.” Temanku memeluk aku, sedangkan tangisku semakin menjadi-jadi karena rasa rindu yang menyesakkan dada dan rasa haru oleh kata-kata temanku tersebut, juga rasa bahagia karena aku memiliki teman-teman yang tulus saling menjaga satu sama lainnya.
            Malam itu di bawah sinar bulan purnama, kami saling bertukar cerita ada derai tawa ada air mata yang ikut berkumpul bersama kami. Selesai bercerita, kami bernyanyi mendendangkan lagu-lagu jatuh cinta, patah hati, cinta yang tak terungkap dan akhirnya nyanyi ngalor ngidul sambil tertawa-tawa karena kehabisan lagu. Malam itu sungguh mesra, kami dengan perasaan kami masing-masing berkumpul menangisi dan menertawakan hidup kami, kami mengakhiri ritual itu dengan berjanji bahwa sesibuk apapun kita nanti kita harus terus begini.

            Malam itu sambil melihat purnama, aku berharap bahwa ia juga sedang memandang bulan sepertiku. Aku tersenyum membayangkan wajahnya sambil berdoa, semoga getar rinduku sampai padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar