Seperti
biasa kami melakukan ritual curhat kami, kali ini ritual itu dipercepat karena
bulan ini teman-temanku akan pulang ke kampungnya masing-masing. Seperti biasa
obrolan kami hanya seputar masalah cinta, dosen yang baik hati sampai yang
nyebelin, teman-teman kampus yang aneh padahal kami tak mengenal orang yang
diceritakan itu, cerita horor dan lain sebagainya. Tapi kami menikmati ritual
ini, ritual yang mempererat ikatan yang rasanya lebih dari sahabat ini.
Kali ini kami bercerita tanpa tema,
terserah mau cerita apa saja yang pasti setiap orang harus cerita. Tapi lagi-lagi
tanpa harus diberi temapun ternyata kami semua bercerita tentang cinta. Mulai
dari cinta yang tak terungkap seperti cerita ritual dua bulan kemarin, cerita
PDKT sampai cerita putus cinta. Kami memilih orang yang akan bercerita dengan
bermain ABC Lima Dasar, yang tidak bisa menjawab harus langsung bercerita.
Aku yang paling lemah dalam
permainan ini mendapat giliran pertama bercerita, masih sama seperti dua bulan
yang lalu aku bercerita tentang cinta yang tak terungkap. Semua diam
mendengarkan, di bawah sinar bulan purnama aku bercerita suasana mendadak
syahdu seperti di pantai malam itu ketika pertama kali aku jatuh cinta padanya.
Seperti biasa sebelum bercerita aku
akan tersenyum kepada teman-temanku, menghela napas panjang barulah aku mulai
bercerita. Aku bercerita dengan perasaan berdebar-debar seperti malam waktu
pertama kali aku jatuh cinta padanya, punggungku panas dan napasku berat. Di
saat ini aku benar-benar merindukannya.
“Gue masih jatuh cinta sama orang
itu seperti dua bulan lalu waktu pertama kali gue jatuh cinta sama dia.
Seandainya gue bisa kembali ke malam itu gue pengen waktu dia minta api lampion
itu, gue mau tuker posisi sama temen gue. Supaya pas dia dateng minta api
lampion gue bisa liat dia lebih lama, gue bisa sadar lebih awal pas dia dateng.”
Mataku mulai berkaca-kaca, aku benar-benar rindu.
“Kalo gue ada di posisi temen gue
waktu itu, gue bisa dengan lebih leluasa mandang dia, gue bisa liat matanya.
Gak dari Cuma dari samping kaya waktu itu, pas dia pergi juga gue gak Cuma bisa
liat punggungnya aja tapi bisa liat dia dari samping. Gue ngerasa temen gue
beruntung banget ada di posisi itu.” Aku tersenyum kepada mereka sebelum
melanjutkan ceritaku.
“Saat ini gue ngerasa kangen banget
sama dia. Pengen ngeliat dia walaupun Cuma sambil lewat aja, karena emang
biasanya kaya gitu. Ketemu dia Cuma sambil lewat aja. Tanpa kata, tanpa sapa. Tapi
rasanya gue jadi orang paling beruntung bisa ketemu dia saat itu.” Aku mulai
meneteskan air mata, aku merasa hatiku sangat ngilu saat itu. Aku rindu dia
yang tak pernah tau bahwa aku merindukannya, aku rindu tapi tak bisa
menyampaikannya.
Salah satu temanku menyela, “Hana,
gue tau kok rasanya jadi lu. Kita semua di sini pernah ngerasainnya. Apalagi lo
kan. Lo udah biasakan nyimpen cinta sendiri, nyimpen kangen sendiri. Kita semua
di sini tau, biarpun lo yang paling lemah yang cengeng di antara kita semua, tapi
lo yang paling kuat kalo masalah nahan emosi nahan perasaan. Lo orang yang
sabar Na, kalo nanti lo dapetin cinta lo itu bukan lo yang beruntung karena
bisa dapetin dia tapi dia yang beruntung karena bisa naklukin hati lo, karena
lo orang yang paling tulus dalam melakukan segala hal di sini. Gue jarang
ngedenger lo ngedumel kalo ngerjain apa-apa.” Temanku memeluk aku, sedangkan
tangisku semakin menjadi-jadi karena rasa rindu yang menyesakkan dada dan rasa
haru oleh kata-kata temanku tersebut, juga rasa bahagia karena aku memiliki teman-teman
yang tulus saling menjaga satu sama lainnya.
Malam itu di bawah sinar bulan
purnama, kami saling bertukar cerita ada derai tawa ada air mata yang ikut
berkumpul bersama kami. Selesai bercerita, kami bernyanyi mendendangkan
lagu-lagu jatuh cinta, patah hati, cinta yang tak terungkap dan akhirnya nyanyi
ngalor ngidul sambil tertawa-tawa karena kehabisan lagu. Malam itu sungguh
mesra, kami dengan perasaan kami masing-masing berkumpul menangisi dan
menertawakan hidup kami, kami mengakhiri ritual itu dengan berjanji bahwa
sesibuk apapun kita nanti kita harus terus begini.
Malam itu sambil melihat purnama,
aku berharap bahwa ia juga sedang memandang bulan sepertiku. Aku tersenyum
membayangkan wajahnya sambil berdoa, semoga getar rinduku sampai padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar