Kamis, 31 Juli 2014

Percakapan di Warung Bakso

"Eh, seandainya ada orang yang lu benci banget... Pengen gak sih lo ngebunuh dia?" Temanku memulai percakapan sore itu.

"Lah, emang kenapa lo benci sama orang itu?" Aku menanggapi dengan antusias. Biasalah perempuan kalau sudah berkumpul apa saja dibicarakan.

"Tukang adu domba, tukang fitnah. Isshh.. Jijik banget gue ngeliat mukanya. Rasanya pengen gue gorok lehernya. Gue putusin tuh lidahnya." Temanku menjawab dengan berapi-api. Ketara sekali bahwa ia tidak main-main, dia benar-benar marah.

"Ah, gue sih gak pernah kepikiran buat ngebunuh orang. Gue kalo udah marah banget sama orang mending gue gak usah bunuh tuh orang. Karena gue gak mau di cap sebagai seorang pembunuh." Jawabku mantap.

"Ah, alay. Gaya bet lu. Sok bae banget." Temanku mencibir kesal. Mungkin dia pikir mana ada orang yang tak pernah berpikiran untuk membunuh orang yang dia benci.

"Maksudnya, gue gak mau dicap sebagai pembunuh. Gue maunya ngebunuh orang tanpa harus dicap sebagai pembunuh. Caranya adalah, buat orang itu semakin benci sama kita. Orang yang benci sama kita dia bakalan mikirin kita seharian, udah kaya orang jatuh cinta. Liat aja, nanti juga mati sendiri." Aku menjawab dengan serius.

"Gak gitu juga kali. Masa lo ditampar orang lo diem aja? Serius sih." Temanku bertambah marah.

"Gue kalo mau dendam sama orang, mending gue buat dia krisis percaya diri. Gue ditampar sama orang, gak akan gue tampar balik. Gue akan diem, gue bikin dia ngerasa tersudut dari lingkungannya. Gue akan patahin semangatnya dia. Dia bakalan depresi kalo kaya gitu. Ntar juga mati sendiri. Entah dia gantung diri atau minum racun dan sebagainya, ya terserah dia. Gue sih cuma ngenterin ke pilihan mau tetap bertahan atau mau nyerah. Kalopun dia tetap memilih untuk hidup, dia udah ngerasain gimana rasanya tersudut dan akhirnya depresi." Lalu, aku tertawa.

"Ah, gila lu. Gue gak ngerti sama jalan pikiran lu. Gak ngerti juga sama omongan lu." Temanku hanya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Iya sama, gue juga gak ngerti sebenernya tadi gue ngomong apaan." Aku tertawa lagi.

"Stress lu." Lalu dia ikut tertawa.

Yah, begitulah percakapan di warung bakso tadi sore,

Rabu, 30 Juli 2014

Data: Cinta (Leksikografi)

Data: Cinta
Kata Cinta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna teras atau makna utama Suka Sekali.
Sebagai contoh:
1.      Demi Cinta, orang tersebut rela berjalan 1000 KM untuk menemui kekasihnya.
2.      Karena alasan cinta, pemuda tersebut harus berurusan dengan hukum.
Demi cinta merupakan entitas Abstrak, karena hal tersebut hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Sedangkan orang lain hanya dapat melihat perbuatannya, namun tidak turut merasakan. Demi cinta, orang tersebut rela berjalan 1000 KM menandai bahwa orang tersebut dalam keadaan suka sekali. Sama dengan kalimat kedua, karena alasan cinta, pemuda tersebut harus berurusan dengan hukum. Memiliki makna yang sama dengan kalimat pertama bahwa orang tersebut sedang dalam keadaan suka sekali. Jadi jelas bahwa makna teras untuk kata Cinta ialah suka sekali..
Kata cinta, dapat juga membawa makna lain sebagaimana dalam kalimat-kalimat berikut:
3.      Semakin jauh saya pergi dari negeri ini semakin saya merasa cinta akan kampung halaman.
4.      Para pejuang rela berkorban nyawa karena cinta akan kemerdekaan.

Pada kalimat ketiga, Semakin jauh saya pergi dari negeri ini semakin saya merasa cinta akan kampung halaman. Makna cinta pada kalimat ini merujuk pada maksud rindu. Dan pada kalimat keempat, Para pejuang rela berkorban nyawa karena cinta akan kemerdekaan, memiliki makna ingin sekali atau berharap. Kedua makna dari kalimat ketiga dan keempat merupakan makna lain dari kata Cinta.

Selasa, 29 Juli 2014

Rindu (Lagi)

Tiba-tiba keinget waktu KKL dulu. Malam ini, aku benar-benar merasa tersiksa. Aku rindu waktu itu, kebersamaan kami selama satu minggu. Ah, aku gagal move on dari moment itu. Rindu ini bukan hanya merindukan teman-temanku. Sebenarnya rindu ini, aku tujukan pada dia yang bernyanyi malam itu. Aku rindu dia.

Aku rindu dia yang membuatku tersenyum tanpa henti seperti orang gila, aku merindukannya sampai-sampai aku insomnia. Aku tak pernah berhenti mengecek beranda FB, karena siapa tahu dia muncul dengan status barunya. Tapi aku terlalu takut untuk stalking akunnya. Takut kalau dia memasang aplikasi yang memunculkan siapa saja yang mengintip akunnya. Maka aku cuma bisa menunggu dia membuat status baru atau mengomentari kiriman.

Aku tak tahu harus berbuat apa, aku cuma bisa merasakan kerinduan ini. Tanpa bisa berkata aku rindu kamu, tanpa bisa menanyakan kabarnya, tanpa bisa bertemu dengannya untuk mengobati rasa rindu ini. Aku menunggunya di beranda FB, itu sudah cukup mengobati rasa rinduku. Karena dengan namanya muncul di beranda aku tahu dia baik-baik saja.

Senin, 28 Juli 2014

Lebaran Tahun Ini

Berhubung hari ini umat muslim sedang merayakan hari Idul Fitri. Sebelumnya aku mau ngucapin Ied Mubarak, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Lebaran kali ini amat kurang berkesan buatku, hampir semua tetangga mudik. Sedang aku sendiri sudah berapa tahun ini tidak pulang ke Palembang karena banyak saja alasannya. Jadi cuma bisa lebaran di rumah, hari ini lebaran menjadi kurang berkesan keluarga yang berkunjung ke rumah juga cuma datang sebentar kemudian pergi lagi. Ada saudara yang ingin datang tapi tidak jadi, jalanan depan rumahku yang biasanya akan macet karena semua orang yang pulang shalat ied akan bersalam-salaman sepanjang jalan pulang hari ini lengang sekali. 

Aku cuma berdiri di pinggir jalan, menyalami setiap orang yang lewat. Tapi hari ini aku bisa hitung jumlah orang yang aku salami. Benar-benar sepi sekali, sebelum jam 10 pagi tadi aku sudah berganti pakaian rumah, karena jalanan memang sudah sepi. Akhirnya, aku mengikuti ibuku berkeliling kampung. Banyak rumah yang tertutup rapat dan berdebu, artinya memang banyak yang mudik tahun ini. Tahun kemarin aku masih diberi salam tempel saat bersalam-salaman, tahun ini tidak dapat. Sebenarnya tadi ada yang ingin memberi tapi aku tolak. Aku bilang, "Aku udah gede.", orang itu cuma bilang, "Eh udah gede ya." Mungkin mukaku masih unyu-unyu gitu kali ya. Makanya masih ada yang mau ngasih salam tempel. Hehehe.  

Semua itu di tambah lagi karena aku tidak ikut shalat ied, ya biasa tamu bulanan perempuan. Dan, ayahku juga bekerja sampai menjelang siang jadi sepulang bekerja ayahku langsung tidur. Jadi, kami sekeluarga kehilangan moment kebersamaan kami. Rasanya seperti hari-hari biasa saja, yang membuat berbeda adalah adanya kue lebaran, baju baru dan ketupat opor. Begitulah hari lebaran yang kurang menyenangkan ini.

Ini Foto Lebaran Tadi:


Selfie Ceritanya


Nisa dan Deas



Minggu, 27 Juli 2014

Kenangan Semasa di SMA 115 Jakarta

Malam takbiran ini tiba-tiba ingat masa-masa SMA dulu. Awalnya aku selalu mengeluh mengapa aku harus bersekolah di tempat ini. Jauh dari dari mana-mana, boros ongkos. Angkutan umum sudah tidak ada jika waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Tapi, lama kelamaan. Aku menemukan banyak hal yang menarik di sekolah ini yang tak kutemukan di sekolah manapun juga.

Sekolahku, dikelilingi oleh sawah yang luas. Setiap kali musim tanam padi maka aku bisa melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan, padi-padi yang tertiup angin akan membentuk sebuah gelombang yang cantik seperti permadani hijau. Setiap pagi akan terdengar suara cicitan merdu burung-burung yang entah apa namanya. Jauh dari kebisingan, udaranya segar, aku bisa menemukan banyak embun di pagi hari saat berangkat sekolah. Kemudian setiap matahari terbit dan terbenam, itu adalah hal yang sangat ditunggu oleh setiap penghuni sekolah itu. Warna keemasan akan menimpa kami, membentuk siluet yang sungguh indah nyaris sesempurna film buatan luar negeri yang menceritakan tentang matahari terbit atau terbenam. 

Sesepulang sekolah bagi kami yang tidak menaiki kendaraan, kami akan berjalan kaki di tepian sawah bersama teman-teman, bersama yang terkasih. Menatap padi yang hijau ataupun mulai menguning, mendengarkan burung-burung bernyanyi. Menatap cahaya emas setiap sore, hingga rambutku yang kecoklatan seperti terbakar ditimpa cahaya matahari sore. Mata kami saling jujur, bahwa kami ingin di sini lebih lama menikmati semua keindahan ini. Memang terlalu manis, kenangan kami di SMA Negeri 115 Jakarta Utara. 


Foto Semasa SMA dulu, Aku belum berhijab waktu itu:


Bersama Winda, di Masjid Sekolah saat Class Meeting


Kelas XI IPS 2, Saat Class Meeting


Aku dan Erna. 
Foto ini diambil sewaktu jam kosong, kelas XII IPS 2 


Aku dan Vhiya di kantin sekolah


Aku dan Erna di kelas XII IPS 2.
Foto ini di ambil hari jumat karena aku memakai kerudung.


Sebelum wawancara tugas KWN 


Di Monas saat melakukan wawancara.


Seusai wawancara


Jalan-jalan ke Monas


Study Tour ke Tangkuban Perahu


Seusai Pelajaran Bahasa Inggris


Sebelum Try Out


Sebelum Try Out


Aya, Anita, Erna dan Aku.
Hari Jumat di kelas XII IPS 2.


Anggota Teater X-SMall
Vhiya, Aku, Erna, dan Anita.



Aku sungguh kangen kalian

Sabtu, 26 Juli 2014

Percakapan Menjelang Lebaran: Memilih yang Dicintai atau yang Mencintai?

Menjelang H-1 lebaran, terjadi adegan paling dramatis dalam hidupku di rumah. Membersihkan usus ayam. Iyakss... Aku paling benci melakukan ini. Apalagi waktu dibelah menjadi dua dengan menggunakan lidi. Ada lendir kuning yang ikut keluar. Aku jijik sekali sampai menjerit-jerit melakukannya. Lalu terjadilah percakapan yang cukup menarik antara aku dan ibu di dapur.

Aku     : Bu, menurut ibu. Kalo perempuan itu harus milih orang yang dia cinta apa milih orang yang cinta sama dia?

Ibu       : Ya, jelas sama orang yang cinta sama dia lah. Perempuan itu akan lebih bahagia kalau dia hidup sama orang yang cinta sama dia. Kenapa kok tiba-tiba kaya gitu? Emang lagi galau ya?

Aku     : Ih, sok tau. Gak lah. Cuma nanya aja.

Ibu       : Ah, bohong. Pasti ada alasan. Siapa yang kamu suka? Terus siapa yang suka sama kamu?

Aku     : Hehehehe. Aku suka sama orang. Tapi orang itu gak tau deh suka apa gak sama aku. Setau aku, gak ada yang suka sama aku sampe sekarang.

Ibu       : Ah, masa. Bohong banget kalo gak ada yang suka sama kamu. Kamunya aja kali kurang peka. Dulu ibu waktu masih muda, direbutin banyak cowok. Masa kamu gak sih.

Aku     : Ah, itukan dulu bu. Manusia belum berevolusi secara sempurna. Jadi waktu itu ibu jadi yang paling cantik di antara semua perempuan. Kalo  sekarang kan zaman udah beda.

Ibu       : Maksudnya apa? Zaman manusia monyet itu. Enak aja. Gimanapun juga, Ka. Perempuan itu harusnya milih cowok yang cinta sama dia bukan yang dia cinta.

Aku     : Gimana kalo perempuan itu gak cinta sama cowok yang cinta sama dia? Sama aja gak bahagia.

Ibu       : Eh, dengerin ya neng. Cewek itu mudah jatuh cinta, beda sama cowok yang jatuh cinta aja banyak tahapannya. Dari mulai tertarik, perhatian sampe bener-bener jatuh cinta. Cewek dikasih perhatian kecil aja, hatinya udah meleleh. Makanya senjata cowok buat naklukin hati cewek itu pake rayuan. Hal kecil aja udah bikin cewek jatuh hati, apalagi kalo hal yang lebih dari itu. Kodratnya cewek itu mudah luluh, mudah jatuh cinta, mudah takluk. Makanya dibilang cewek itu lemah, maksudnya lemah hati. Gak tegaan. Makanya harusnya cewek milih orang yang cinta sama dia bukan yang dia cinta. Beda sama cowok, cowok itu punya banyak tahapan buat jatuh cinta. Cowok juga bukan makhluk yang hatinya mudah takluk, perhatian kecil aja gak akan bikin mereka merasa geer apalagi jatuh hati sama cewek. Ketika cowok udah jatuh cinta sama cewek, dia juga masih punya tahapan lain. Cowok itu makhluk egois, dia akan mastiin apa bener cewek itu cinta sama dia atau gak. Tapi sayangnya cowok kurang peka, perhatian kecil gak akan nampak di mata cowok. Kalo kamu yang ngejar-ngejar cowok itu, dijamin hidup kamu gak akan bahagia. Karena ketika cowok itu udah bener-bener yakin jatuh cinta mungkin kamu udah hilang rasa, karena keburu lelah meyakinkan dia. Akhirnya tau sendirilah. Malah tambah gak bahagia.

Aku     : Wahhh... Hebat. Ibu, udah kaya dokter cinta aja. Tapi, Bu. Bukannya akan lebih bahagia kalo kita bisa hidup sama orang yang kita cinta dan mencintai kita. Perempuan bukannya akan lebih bahagia kalo bisa naklukin orang yang dia cinta?

Ibu       : Nah, itu. Makanya perempuan harusnya milih orang yang cinta sama dia. Karena lambat laun, perempuan akan cinta sama cowok itu. Kalo kamu bisa naklukin hati cowok yang kamu suka sih silahkan aja, tapi ibu takutnya kamu Cuma makan hati. Akhirnya capek sendiri. Karena gak mudah buat cowok jatuh cinta. Tapi, ibu bisa jamin kamu kalo misalnya kamu bisa naklukin hati cowok yang kamu suka sampe dia bener-bener jatuh cinta sama kamu. Kamu akan jadi perempuan paling bahagia di dunia. Karena sekali cowok bener-bener jatuh cinta sama cewek. Maka cewek yang dia cinta itu adalah segalanya. Walaupun katanya perempuan itu makhluk setia. Tapi cowok lebih setia, karena mereka susah jatuh cinta. Perempuan ketika putus sama pacarnya akan lebih mudah move on, ketimbang cowok. Ketika putus mungkin awalnya cewek akan nangis-nangis bombay tapi liat deh perempuan yang udah putus selama sebulan gak juga deh tiga bulan kali ya, pasti wajahnya keliatan bahagia banget, kaya ada beban yang lepas. Tapi kalo cowok, awalnya mereka bahagia banget pas putus. Tapi liat aja sebulan kemudian dia akhirnya nyesel, dan gagal move on. Ketika cowok itu minta balikan sama mantannya, mungkin mantanya udah punya gebetan baru. Mantannya udah move on dari kapan tau. Makanya yang lebih banyak gagal move on itu, cowok. Itu sih, menurut pengalaman ibu waktu masih muda ya.

Aku     : Woow.. Ternyata pengalaman ibu tentang cinta, luar biasa. Aku di umur yang segini aja belom punya pengalaman tentang cinta. Selain ya itulah.. Males ngomongnya.

Ibu       : Makanya, buka diri. Biar keliatan ramah, tapi gak murah. Perempuan itu dilarang pasang muka jutek, cowok jadi pada males deketin. Yang boleh pasang muka jutek itu Cuma cowok soalnya cowok yang pasang muka jutek biasanya bakal dikerubungin banyak cewek, soalnya bikin penasaran. Begini yah Ka, ibu kasih tau. Pasang senyum semanis mungkin ketika kamu ngeliat cowok yang kamu suka, terus tatap matanya selama lima detik tanpa berkedip. Kalo dia nangkep sinyal itu, dia akan tau kalo kamu suka sama dia. Mungkin dia akan penasaran sama kamu. Liat respon berikutnya, kalo dia ngeliatin kamu lagi ketika kamu gak lewat di depan dia, berarti itu refleks cowok. Artinya dia juga tertarik, kalo dia biasa aja pas kamu lewat artinya, sabar aja ya. Dia gak tertarik sama kamu. Kecuali kalo dia nunduk atau buang muka, biasanya itu artinya dia malu. Liat gestur badannya. Kalo kaku, dia grogi. Ah, banyak lah kalo kamu mau ngomongin masalah cowok. Mereka itu memang susah ditebak, tapi asalkan kamu peka bisa nangkep sinyal sekecil apapun. Sebenernya mereka itu kaya buku yang udah sering kamu baca. Kamu bakal hapal semua tabiat cowok. Karena aslinya mereka itu mudah ditebak apa maunya, Cuma karena cowok itu makhluk egois makanya seolah mereka itu susah ditebak. Pada dasarnya cowok itu gak pinter nyembunyiin perasaannya di depan cewek. Makanya cowok itu gak berani bohong kalo lagi bertatap muka sama cewek. Karena mereka juga tau perempuan itu sensitif terhadap kebohongan.

 Aku    : Oh.. gitu ya. Hahaha. Aku bener-bener ngerasa bodoh, kalo masalah beginian.

Akhirnya, aku Cuma senyum-senyum sendiri. Mungkin benar yang dibicarakan oleh ibuku, mungkin ibuku hanya sok tau. 

Jumat, 25 Juli 2014

Aku Harus Bagaimana Lagi?

Namamu, aku tak pernah lelah mengejanya. Menuliskannya dalam setiap halaman buku harianku, mengeja huruf per huruf. Mengartikannya, lalu membawanya ke dalam mimpiku. Esoknya aku lakukan hal yang sama. Setiap hari. Aku tak pernah lelah.

Kadang mereka mengejekku, karena hanya bisa melakukan itu untukmu. Hanya berharap kau tahu. Kadang juga aku tak ingin siapapun tahu. Cukup aku. Tapi, aku rasa aku tak pernah bisa menyembunyikannya. Karena mataku, senyumku selalu terkatup rapat menahan sesuatu yang ingin keluar dari tubuhku setiap kali aku melihatmu. Hanya itu, isyarat halus yang bisa kutunjukan. Isyarat yang tak akan di mengerti siapapun.


Aku harus bagaimana lagi? Aku hanya bisa mengeja saja. Aku masih buta akan rasa yang bernama cinta. Yang aku tahu aku malu bahkan pada diriku sendiri ketika tak sengaja aku bertatapan denganmu. Apalagi yang harus aku lakukan? Selain mengeja namamu. Aku sungguh bingung terhadap diriku sendiri. Lalu apalagi? Tidak adakah?

Kamis, 24 Juli 2014

Cerpen: Lelaki di Hutan Pelangi

Lagi buka-buka folder tugas kuliah, eh nemu cerpen aku yang aku buat waktu kuliah apresiasi drama waktu semester 2 lalu. Jadi, geli sendiri bacanya. Waktu itu tugas ini dibuat untuk memenuhi syarat UAS. Yah, karena belum pinter nulis. Maafin aja ya, kalo cerpennya jelek. Kayanya sampai sekarang ini, aku belum banyak berubah. Masih belum pinter nulis deh. Hehehehe. 


_______________________________________________________________________

Lelaki di Hutan Pelangi

Lelaki itu, yang mengajari aku berbagai warna di dunia ini. Menceritakan aku tentang pelangi yang selalu muncul setelah hujan, aku merindukannya disetiap hari, rindu harum tubuhnya aku rindu suara paraunya. Di hutan pelangi tempat kami selalu bertemu dulu, kami menghabiskan waktu dengan memandang telaga yang katanya selalu biru dan setelah itu ia akan mengajakku terbang melewati angin yang menerpa wajahku.
            Hari ini, disaat aku benar-benar merindukannya. Aku duduk diteras rumahku tempat kami bertemu untuk pertama kalinya dulu, dulu sekali sebelum kami berpisah. Aku mereka-reka wajahnya mengingatnya kembali, tapi aku tak pernah bisa melukiskan kembali wajahnya. Aku merindukan laki-laki itu dan hutan pelangi.
            “Bangun, bangun nak!” entah bagaimana wajah Bunda saat membangunkanku, sepertinya ia sangat panik, aku rasakan bahwa baju tidurku hampir seluruhnya basah oleh keringat.
            “Aku mimpi ya Bun? Tapi semuanya gelap, aku tak bisa melihat apapun dalam mimpiku. Apakah itu artinya aku bermimpi Bunda?” Aku meraba kasur tempatku duduk saat ini, mencari benda yang aku butuhkan sebelum aku beranjak dari kamarku.
            “Kamu mandi dulu ya nak” aku mengangguk pelan lalu aku dengar suara pintu berdecit, Bunda telah keluar dari kamarku.
            Biasanya setelah mandi bunda akan menyisir rambutku lalu memakaikannya bandana, yang hingga suatu hari nanti aku tahu bahwa bandana yang kukenakan setiap harinya berwarna merah. Setiap hari aku selalu bertanya kepada bunda baju warna apakah yang aku kenakan hari ini, tapi aku tak pernah bertanya kepada bunda tentang bandana itu. Setelah itu bunda akan mengajakku pergi ke teras rumah, lalu menyuapiku makan setelah itu bunda akan meninggalkanku karena ia punya banyak pekerjaan rumah, lalu aku akan menghabiskan waktuku seharian diteras itu tanpa melakukan apapun, begitulah setiap harinya hingga aku bertemu dengan laki-laki itu.
            Kadang aku benar-benar merasa bosan dengan kehidupanku, tapi suara-suara yang aku dengar selalu menghiburku, aku menerka-nerka suara apa itu.  Jika bunda menemaniku maka bunda akan memberitahuku suara apa yang kudengar terkadang bunda bercerita tentang apa yang ada disekeliling kami, dan itu menyenangkan untukku karena semua yang kulihat disetiap harinya adalah kegelapan, siang malam semuanya sama, gelap untukku.
            Matahari, bulan dan bintang yang katanya terang untukku hanyalah gelap tanpa titik cahaya sedikitpun, anjing tetangga yang katanya lucu hanya gelap dimataku, bagaimana mungkin aku mengerti tentang lucu kalau aku saja tak pernah tahu bagaimana lucu itu, suatu hari aku pernah bertanya kepada bunda tentang lucu.
            “Bunda, lucu itu seperti apa ya?” aku agak ragu dengan pertanyaan ini.
            “Lucu itu adalah hal yang bisa membuatmu tertawa, nak.” Kalimat yang keluar dari mulut bunda adalah mantra-mantra ajaib, tuturannya lembut hingga aku betah berlama-lama didekatnya.
            “Kalau lucu itu adalah hal yang bisa membuat kita tertawa, mengapa bunda tidak tertawa saat melihat anjing tetangga yang lucu itu, dan mengapa bunda tidak pernah tertawa disaat yang lain tertawa?”
            “Bunda tertawa nak, hanya saja tak bersuara. Karena seorang wanita tidak boleh tertawa keras, cukup tersenyum saja. Makanya bunda tidak terdengar tertawa.” Suaranya tetap saja lembut walaupun aku selalu bertanya macam-macam yang mungkin saja membuatnya jengkel.
            “Bunda apakah aku pernah tertawa? Ini pertanyaan terakhir Bunda.”
            “Kamu selalu tersenyum. Bunda tak tahu apakah kamu tertawa atau hanya tersenyum saja, cuma kamu yang tau nak.”
            Setiap hari selama bertahun-tahun aku selalu bertanya hal-hal yang aneh, namun bunda selalu menjawab dengan lembut dan tulus. Bunda mengajari aku tentang hidup, bunda mengajari aku tentang apa yang aku lihat, kata bunda apa yang kulihat berwarna hitam, baju yang aku kenakan berwarna putih.
            Pagi gelapku mulai mengintip dari celah-celah jendelaku, rasa panas membakar kulit hingga aku terbangun dari tidurku, rutinitasku adalah sama setiap harinya. Namun, pagi itu berbeda, disaat aku duduk diteras rumahku aku dikejutkan oleh suara parau seorang laki-laki yang tak pernah kukenal, ia duduk disampingku aku dengar suara bangkunya berdecit  saat ia duduk.
            “Hai, setiap pagi aku selalu melihatmu di teras ini dan sore juga kamu selalu duduk di teras ini, kadang siang juga kamu duduk di teras ini. Memang kamu nggak punya aktivitas apa-apa ya?”
            “Siapa kamu? Nggak sopan masuk ke rumah orang seenaknya.”
            “Oh, maaf. Aku tetangga kamu, baru pindah seminggu yang lalu. Aku heran aja ngeliat kamu duduk seharian di teras emang nggak bosen apa? Oiya, aku Damar aku kuliah di Instititut Seni Rupa Mandala. Boleh, tau siapa nama kamu?” suaranya parau dan bicaranya agak cepat aku kurang bisa menangkap apa yang ia bicarakan tadi.
            “Aku Lily, kamu cerewet ya.” Jawabku singkat karena aku lupa dengan apa yang ia bicarakan tadi, namun setelah kejadian itu aku selalu mengingat-ingat kejadian itu disetiap harinya.
            “Sekali lagi maaf, aku cuma penasaran aja sama kamu. Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, apa kamu nggak bosen terus-terusan ada diteras rumah? Kenapa nggak main aja?” pertanyaan itu agak memaksa sepertinya.
            “Ya bosen. Tapi, kalo ada Bunda jadi nggak terlalu bosen. Aku nggak bisa main keluar kalo nggak ditemenin Bunda, aku buta aku nggak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Bunda nggak pernah ngizinin aku keluar rumah selain disekeliling rumah ini.” Dua kalimat terakhir sepertinya terdengar sedikit memelas.
            “Aku tau kalo kamu buta dan omong kosong kalo kamu nggak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain. Nanti, aku yang ajak kamu main, aku ajarin kamu hidup tanpa ngebebanin orang lain. Aku janji.”
            Bunda menghampiri kami lalu Damar meminta izin kepada Bunda untuk mengajakku jalan-jalan disekitar kampung, Bunda mengizinkan kami pergi dengan syarat harus kembali tepat  jam lima sore. Aku agak gemetar saat melangkahkan kakiku keluar dari pagar rumahku, baru kali ini aku pergi dengan orang yang baru saja aku kenal, dan dengan mudah bunda memberikan izin kepadanya.
            Ia tak menggandengku seperti Bunda saat kami keluar rumah, ia membiarkanku menerka-nerka jalanku dengan tongkat. Terkadang dia mengarahkan tongkatku kalau aku salah arah, atau menarik lenganku kalau ada sesuatu yang berbahaya untukku. Baru kali ini aku merasakan nyaman berada disisi orang lain selain bundaku. Baru kali ini.
            Ia mengajakku kesuatu tempat yang sejuk dan berangin, katanya itu hutan pelangi. Ada banyak warna yang bisa kami temui disini. Warna yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku banyak bertanya tentang warna padanya sejak itu. Darinyalah aku tahu bahwa bandana yang aku kenakan selalu berwarna merah, dan baju yang kukenakan selalu berwarna putih, darinya aku tahu warna rambutku hitam mengilat dan berombak, darinya aku tahu bahwa kulitku kuning langsat dan bibirku merah jambu, yang semuanya dulu gelap bagiku. Aku semakin penasaran dengan warna-warna itu dan terkadang aku tak bisa tidur membayangkan warna-warna itu, sama seperti dulu saat aku membayangkan wajah bunda yang sampai saat ini masih belum selesai juga.
            “Aku akan mengajakmu terbang.” Suaranya paraunya bersemangat, lalu ia menggandeng tanganku dan mengajakku duduk di papan yang berayun-ayun, ia menyuruhku berpegangan pada talinya. Mula-mula aku tak mengerti dan aku turuti saja perintahnya, angin menggoyang-goyangkan benda yang aku duduki saat ini. Ia mulai mendorongku, awalnya pelan saja dan aku masih belum merasakan apapun selain angin yang membelai-belai rambutku aku hanya tersenyum kecil.
            “Apa ini yang namanya terbang? Hanya seperti ini aku tak merasakan apapun yang menyenangkan.” Lalu ia mendorongku semakin kuat dan semakin kuat, hingga aku merasakan diriku dalam berbagai keadaan, senang, takut dan lain sebagainya yang tak bisa kujelaskan, aku mulai menjerit lama-kelamaan jeritan bercampur tawaku semakin kencang namun berlalu diterbangkankan oleh angin yang kini seolah menampar-nampar mukaku.
            “Aku terbang, dan aku bahagia.” Teriakku sebelum benda itu berhenti berayun.
            “Itu namanya ayunan, aku suka bermain ayunan kalo aku lagi sendirian. Itu bikin aku bahagia sama kayak kamu tadi. Aku cuma mau nunjukin ke kamu kalo ini baru hidup, hidup itu kayak naik ayunan tadi. Menurut aku sih begitu, kalo kamu nggak tau deh.”
            “Aku setuju sama kamu, setuju banget.” Aku mengangguk menyakinkan, walaupun aku tidak mengerti apa maksud dari pernyataannya tadi. Tapi aku yakin dia benar.
            Untuk kedua kalinya ia menggandeng tanganku, ia menyuruhku duduk diatas bangku panjang. Ia membawakanku minuman kaleng yang aku yakini bahwa itu rasa jeruk. Hari ini aku merasakan kebahagian yang amat sangat lalu aku ingin mengulanginya lagi dan lagi disetiap harinya, namun kadang ia tak datang ke rumahku hingga aku nekat datang sendiri ke tempat itu. Aku pernah melakukan hal itu hingga beberapa kali, dan ia amat terkejut karena aku sudah mampu menghapal jalan. Dan aku merasa hebat karenanya, bisa melakukan hal yang aku mau tanpa bantuan orang lain lagi, dan aku merasa hidupku benar-benar berarti setelah aku mengenalnya. Ia mengajariku banyak hal yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Seperti hari itu saat aku menanyakan warna biru yang ia katakan padaku, bahwa telaga yang ada dihadapanku berwarna biru dan langit berwarna biru.
            “Warna biru itu seperti apa ya?” Aku tak mampu lagi membendung rasa penasaranku terhadap warna-warna yang ada disekeliling kami. Aku menerka bagaimana warna biru, namun tetap saja tak pernah berhasil.
            “Biru itu seperti.. Hmm.. Ya seperti saat kamu terbang. Bahagia dan sejuk, itu untuk saat ini. Nanti suatu saat kamu pasti ngerti warna biru itu seperti apa.”
            “Tapi kan, aku... Bagaimana aku bisa ngerti, kalo aku saja nggak pernah liat biru itu seperti apa.” Aku hampir menangis dengan perkataanku ini, mengapa ia begitu yakin bahwa aku akan mengerti tentang warna-warna di dunia ini.
            “Kamu bisa Ly, kamu bisa liat warna disekeliling kamu. Bukan dengan mata, tapi dengan hatimu, dengan perasaanmu. Aku kasih tau konsep tentang warna supaya kamu ngerti. Warna merah itu ketika kamu marah dan itu warna bandanamu, warna hitam apa yang kamu liat saat ini, warna putih itu warna baju yang selalu kamu pakai, warna hijau itu ada direrumputan dan pepohonan, warna kuning itu warna ketika kamu bersedih, warna merah jambu itu ketika kamu jatuh cinta. Ya, kurang lebih seperti itu.”
            “Jatuh cinta?” aku terperangah dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan. Jatuh cinta, apakah aku pernah mengalaminya, aku sendiri pun tak tau apa-apa tentang cinta. Aku merasakan getaran yang aneh pada tubuhku, jantungku rasanya ingin meledak.
            “Ya, aku rasa semua orang pernah jatuh cinta.”
            “Bagaimana dengan aku?”
            “Entahlah, aku rasa iya.” Jawabannya singkat, namun aku rasa benar.
            Bintang mengintip dari tirai-tirai persembunyiannya, katak dan jangkrik saut menyaut saling mengejek. Aku duduk diteras rumahku, aku merasa merindukan teras ini karena sejak bertemu dengan Damar aku jarang sekali duduk menghabiskan waktuku diteras ini. Damar lelaki berbau pinus dari hutan pelangi yang tak pernah kutahu parasnya. Aku merindukannya sepanjang hari.
            Bunda datang membawakanku secangkir wedang jahe untuk menghangatkan tubuh, karena malam ini memang sangat dingin tak seperti malam-malam sebelumnya. Malam ini seolah sebagai isyarat bahwa aku akan menemui warna kuning, aku merasa.
            “Bunda, apa itu cinta?”
            Agaknya bunda terkejut dengan pertanyaanku, ia lama berpikir sebelum ia menjawab pertanyaanku. biasanya bunda tak akan membiarkan aku menunggu lama atas jawabannya, aku mendengarnya menarik napas panjang sebelum ia mengatakannya kepadaku.
            “Cinta itu.. Rasa nyaman berada didekat seseorang, kamu tak ingin berpisah dengannya, setiap hari kamu selalu ingin bertemu dengannya. Ya, sesederhana itu.”
            Aku rasa bunda salah dengan jawabannya kali ini, tidak sesederhana itu untukku. Bagiku itu lebih dari sulit, tapi aku menganggukkan kepalaku lebih dari tiga kali, aku rasa. Lelaki berbau pinus dari hutan pelangi, aku merindukannya disepanjang hari.
            “Apa aku saat ini sedang jatuh cinta Bunda? Aku merasa nyaman saat aku bersama Damar, aku merindukannya disepanjang hari. Aku tak ingin waktu cepat berlalu saat aku bersamanya. Ia adalah sayap kebisuan untukku, ia mengepakkan sayapnya dan mengajakku terbang Bunda. Bunda mengertikan?” Aku bicara setengah berteriak, yang membuat bunda terkejut karena baru kali ini aku bicara dengan amat keras padanya, perasaan ini sangat menyiksaku.
            “Bunda rasa iya. Bunda pergi kekamar ya. Bunda mau tidur.”
            Damar, lelaki berbau pinus dari hutan pelangi. Aku merindukannya disepanjang hari.
            Matahari naik keperaduannya, siang menjelang. Sudah tiga hari semenjak pertemuan terakhir kami di hutan pelangi, mengeja warna satu persatu. Aku belum bertemu dengannya lagi, tak ada kabar darinya. Dia tidak tahu bahwa aku merindukannya semenjak pertemuan pertama kami. Aku merindukannya hingga keurat sarafku, aku merindukannya. Apakah ia tahu tentang hal itu, apakah ia tahu bahwa disetiap hari aku mengeja namanya satu persatu, mancari artinya dan membawanya kealam mimpiku.
            Aku mengambil tongkat penuntunku, aku pergi mengahapal jalan kehutan pelangi, angin menuntunku pergi kesana, perasaanku tak menentu kali ini. Ada rasa cemas, ketakutan dan entah rasa apa yang menyelimuti tubuhku saat ini. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku merindukannya dan aku ingin selalu bersamanya. Aku tak mau kehilangannya. Tapi, bagaimana mungkin ia mau menerima keadaanku yang seperti ini. Mungkin setelah aku mengatakannya ia akan meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku dapat menemani hari-harinya jika nanti ia meninggalkan aku. Aku urungkan niatku untuk mengatakan bahwa aku merindukannya dan aku mencintainya. Aku pendam dalam hatiku, sampai nanti suatu saat aku mengatakan juga kepadanya.
            Aku tak pernah menemukannya, hingga hari-hari berikutnya. Berminggu-minggu aku menunggunya ia tak pernah datang lagi kepadaku. Aku ingin ia tahu bahwa aku sekarang  telah mengerti tentang warna. Aku dapat mengejanya satu persatu, aku dapat melihat pelangi setelah hujan seperti yang ia katakan. Aku dapat mengeja pepehonan dan rerumputan yang hijau. Aku dapat memilih-milih bandanaku yang semuanya berwarna merah seperti katanya dulu, aku dapat memilih bajuku yang semuanya berwarna putih. Aku dapat mengenali wajahku sendiri sama seperti patung kayu yang ia buatkan dulu.
            Setiap hari aku tak lagi duduk diteras, mengahabiskan waktuku. Aku dapat mengerjakan pekerjaanku sendiri. Hidupku berpelangi seperti katanya dulu bahwa aku akan mengerti bahwa duniaku penuh warna bukan hanya hitam. aku mulai mencari warna lain dalam hidupku. Aku memilah-milah baju dan bandana dengan warna yang aku sukai. Aku merasa hidupku menjadi lebih dan lebih berarti sekarang, tapi aku merasa kurang. Aku masih merindukan laki-laki berbau pinus itu.
            Aku ayunkan tongkatku kembali, menerka-nerka jalanku dulu dengan berbagai warna saat ini, aku ingin bertemu dengan lelaki itu,  aku merindukannya. Aku menapaki jalanku, sungguh semuanya terasa berwarna sekarang. Apa aku tersesat sekarang, tak ada hutan disini, tak ada. Hanya kawanan burung layang-layang yang terbang kesana-kemari. Beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng dan merdeka serta beberapa ibu-ibu yang menatapku aneh. Ada apa pikirku? Aku membiarkan mereka hingga aku berlalu.
            Tak ada hutan, sungguh tak ada hutan disini. Hanya rumah-rumah penduduk yang berhalaman luas, aku bingung dengan semua keadaan ini. Sepertinya jalan yang aku terka-terka ini benar, ini jalan kehutan pelangi. Namun tak pernah aku temukan hutan, semuanya rumah-rumah penduduk yang berhalaman luas tanpa pagar.
            “Pak, dimana letak hutan pelangi?” aku menghentikan seorang pria paruh baya yang sedang berjalan tergesa-gesa.
            “Hutan pelangi? Nggak tau tuh. Kayaknya nggak ada deh! Baru dengar saya.” Ia menyipitkan matanya padaku.
            “ Nggak tau ya, oh terima kasih Pak.”
Pria paruh baya itu kembali berjalan tergesa-gesa, aku menatapi punggungnya dari kejauhan. Sampai pria itu berbelok pada satu tikungan disudut jalan.
            “INSTITUT SENI RUPA MANDALA” tulisannya besar-besar dan tebal, didepannya ada sebuah pos jaga berlukisan pepohonan dan pelangi, serta kolam ikan yang dicat biru pada dasarnya, lalu ayunan yang dimainkan oleh beberapa orang mahasiswa. Bukankah ini Jakarta? Lalu selembar kertas melayang jatuh dikakiku: SELAMAT JALAN KAWAN: DAMAR ANGGARA

Rabu, 23 Juli 2014

Melebur

Aku ingin melebur bersamamu, menjadi bagian-bagian terkecil dalam tubuhmu hingga membentuk kau.
Saat ini, seperti biasa aku merindukanmu sendiri.
Aku meracau bermacam-macam hal tentang kau.
Sendiri juga.
Tak ada yang dengar, hanya aku yang bicara sendiri dengan dinding kamar.

Kata dokter, besok aku akan mati.
Aku tahu, aku merasa napasku sudah melemah.
Hanya sampai di tenggorokan.
Tapi, rasa rindu lebih menyesakkan dari ini semua.

Aku rindu kau.
Tapi, besok aku akan mati.
Lalu, aku akan melebur bersamamu.
Menjadi yang membentuk tubuhmu.

Selasa, 22 Juli 2014

Hanya Isyarat


Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hanya sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
(Dee- Hanya Isyarat)

Lagu dan sepenggal cerpen karya Dee yang berjudul hanya isyarat, menggambarkan suasana hati aku banget. Aku pernah nulis status di facebook memakai sepenggal cerita dalam cerpen Dee. Tapi, memang rasanya percuma karena waktu itu aku belum berteman di facebook dengan orang yang aku suka. Beberapa hari sesudah aku menulis status tersebut barulah aku menguatkan diriku untuk menambahkan dia ke dalam permintaan pertemanan. Alhamdulillah, malamnya langsung di konfirm. Waktu ada pemberitahuan bahwa dia menerima permintaan pertemanan. Aku langsung bersorak girang. Senang sekali rasanya.

Tapi, hubungan kami hanya sekedar berteman lewat facebook saja. Tidak lebih. Aku hanya menyukai statusnya satu kali saat dia membagikan video. Sedangkan dia belum sama sekali menyukai status yang aku buat. Kami tak pernah saling komen apalagi sampai chat. Aku hanya membaca status yang ia buat saja tak lebih dari itu. Entahlah dengan dia. Mungkin status yang aku buat hanya dianggapnya tulisan yang numpang lewat di berandanya.

Sering kali teman-temanku gemas. Kata mereka aku harus memulai duluan untuk menyapanya. Aku selalu menolak gagasan itu, bahkan kalau bukan karena dipaksa teman-temanku untuk menambahkannya ke dalam pertemanan aku mungkin tak akan berteman dengannya sampai sekarang. Aku selalu berkata, biarin ajalah, setiap kali teman-temanku menyuruhku menyapanya terlebih dahulu, agar kami bisa bekenalan. Aku terlalu malu untuk itu, mungkin jika aku tak menyukainya semua itu akan jadi lebih mudah. Aku bisa berkenalan dengannya tanpa harus malu. 

Temanku selalu berkata, "Bagaimana dia bisa tau kalo lo suka sama dia. Lo aja ngumpetin perasaan lo terus." Dan aku selalu berkata, "Biarin ajalah. Biar gue nikmatin aja rasa ini sendiri." Kalian pasti tahu, cinta yang tak terungkap itu pastilah menyakitkan. Tapi aku sudah mengakrabi sakitnya, cinta yang tak terungkap dan bagaimana rasanya menahan rindu sendiri. Tanpa ia tahu, tanpa aku harus bicara bahwa aku rindu. Hanya lewat isyarat-isyarat halus yang mungkin tak pernah dimengertinya, yang mungkin tak pernah dibacanya ketika isyarat itu muncul di berandanya menumpang lewat. Aku tahu bagaimana rasanya cinta kepada orang yang tak pernah sepatah katapun aku berbincang dengannya. Tapi, aku bisa menikmati setiap jengkal rasa ini sendiri. Benar-benar sendiri.

Senin, 21 Juli 2014

"Kamu Seperti Dewi Kamaratih"

Aku pernah mengalami kejadian yang menarik. Ketika itu aku sedang ada di terminal Rawamangun, seperti biasa setiap kali akan pulang dan berangkat kuliah aku selalu melewati terminal itu. Di hari itu aku diturunkan oleh supir metromini karena penumpangnya hanya ada dua orang. Akhirnya aku menunggu metro yang lain lewat di samping terminal. Ketika itu ada seorang pengemis, aku memberi uang seribu rupiah kepadannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih dan mulai banyak berbicara, awalnya aku agak malas menanggapinya. Dia terus bertanya-tanya kepadaku. Aku hanya mengiyakan saja setiap perkataannya. 

Tapi ada satu kalimat yang menarik perhatianku sebelum ia pergi. "Kamu itu seperti Dewi Kamaratih." Aku hanya menganga saat itu. Tak mengerti apa yang dikatakan ibu tadi, aku tak tahu siapa Dewi Kamaratih. Dengarpun baru sekali tadi. Apakah dia benar-benar seorang Dewi atau seorang artispun aku tak tahu. Kalimat itu terus terngiang-ngiang. Akhirnya sepulang kuliah aku langsung browsing tentang Dewi Kamaratih. 

Ternyata,  Dewi Kamaratih atau Ratih adalah dewi cinta/asmara dalam kepercayaan Hindu Jawa kuno. Ia adalah anak perempuan Daksha dan istri batara Kamajaya dewa cinta. Ketika suaminya terbakar api dari mata ke tiga Batara Guru, ia meminta Batara Guru untuk membunuh dirinya sekalian, sebagai wujud kesetiaannya kepada Batara Kamajaya. Ia adalah Dewi yang sangat cantik, sehingga muncul kepercayaan di masyarakat agar melukiskan Dewi Kamaratih pada kelapa muda sewaktu upacara Mitoni, sehingga apabila nanti anak yang lahir adalah perempuan, ia akan secantik Kamaratih. (Sumber: wikipedia.com)

Wah, aku baru tahu kalau ternyata Dewi Kamaratih merupakan seorang Dewi cinta dan yang pasti ia sangat cantik. Tapi kayaknya aku gak kaya Dewi Kamaratih deh. Ibu itu sok tahu. Tapi yang sangat menarik adalah, menurut primbon jawa ternyata aku bermangsa katelu karena lahir di tanggal 18 September. Mangsa ini dilindungi oleh Dewi Kamaratih. Mungkin yang dimaksud sama ibu itu, mangsa ini kali ya. Tapi hebat banget ibu itu bisa tahu kalo aku mangsa katelu.

Aku benar-benar tertarik dengan cerita Dewa Dewi dalam kepercayaan jawa kuno sekarang. Aku dan keluargaku yang tak memiliki darah kelahiran jawa sama sekali tentu tidak mengerti perihal itu. Aku sebelumnya tak pernah tertarik dengan cerita pewayangan. Aku sama sekali tidak bisa dan tidak mengerti bahasa jawa. Setiap ada yang mengajakku berbicara dengan bahasa jawa aku cuma bisa nyengir babi. Lalu mereka akan tersenyum maklum sambil berkata, "Oh, bukan orang jawa."

Semenjak saat itu aku mulai mempelajari kebudayaan jawa. Ternyata memang sangat menarik. Sekarang aku juga sedikit-sedikit bisa mengerti jika ada yang berbicara menggunakan bahasa jawa. Cuma aku belum bisa menanggapi dengan bahasa jawa, jadi jawabnya masih pakai bahasa Indonesia. Hehehe.

Minggu, 20 Juli 2014

Aku (Tidak) Cantik

Aku sadar diri aku bukan perempuan cantik yang dipuja-puja laki-laki, yang tak akan menarik minat siapapun untuk sekedar menjahiliku ketika aku lewat atau sedang sendiri. Aku punya wajah bulat dan berminyak, kulitku sawo matang, aku punya bibir yang tebal, hidung besar dan mata kecil serta tubuh yang gemuk. Jauh dari standar cantik seperti diiklan-iklan kosmetik atau model-model catwalk dan majalah.

Aku tahu aku tidak menonjol dibandingkan teman-temanku, gaya berpakaianku begitu-gitu saja dari dulu. Celana jeans, flat shoes, kaus, jaket, sweater atau cardigan. Tidak terlalu banyak pakaian yang cocok untukku, gaya berpakaianku memang harusnya begitu tidak macam-macam meniru fashion yang cocoknya dipakai oleh orang-orang semampai.

Bukannya aku tak berusaha untuk bisa tampil cantik, aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi memang dari sananya begitu mau diapakan lagi. Aku sudah pernah ikut program diet ini itu tetap saja gagal. Kalaupun ternyata kurusan malah jadinya seperti orang yang menderita penyakit parah dan tak akan pernah sembuh lagi. Itu semua dikarenakan tulang-tulangku yang besar. Jadi yang mampu aku lakukan hanya menjaga pola makanku supaya tidak berlebihan. Tapi asyiknya, ketika semua perempuan khawatir gemuk karena banyak makan, aku tidak merasakan hal itu. Karena mau aku makan sebanyak apapun berat badanku tak akan bertambah begitu juga sebaliknya aku mau makan sekali sehari dengan setengah centong nasi ataupun tidak makan berhari-hari berat badanku tidak akan turun juga. Itu semua karena sewaktu SMA aku mengonsumsi banyak obat agar bisa sembuh. Aku rutin mengonsumsi obat-obatan tersebut selama 2,5 tahun. Selama aku mengonsumsi obat-obatan tersebut berat badanku naik drastis sampai 10 Kg, padahal makanku sedikit sekali waktu itu memang ternyata obat-obatan yang aku konsumsi mempunyai efek seperti itu, tidak nafsu makan tapi berat badan terus bertambah. Aku mulai tidak percaya diri. Tubuhku terlalu gemuk. Aku mulai berdiet, tapi usahaku sia-sia. Berat badanku tak pernah turun seperti yang aku harapkan. Dari sejak kejadian berat badanku bertambah 10 Kg sampai sekarang berat badanku tak pernah berubah.

Selain masalah wajah dan berat badan, aku juga punya masalah dengan rambut. Rambutku tak pernah bisa tumbuh panjang, karena jika rambutku melebihi punggung maka ia akan rontok dan akhirnya timbul masalah baru rambutku menipis dan botak. Jadi lebih baik di potong pendek, selain itu juga rambutku seperti singa, mudah kering. Kalau tertiup angin langsung berantakan gak karuan. Dulu aku sempat sedih, sewaktu SMA dulu aku sempat merasa tersingkirkan dari teman-temanku. Mereka punya rambut panjang yang indah. Waktu itu lagi booming banget Bonding dan Smoothing. Tapi aku gak bisa seperti mereka, rambutku terlalu sensitif, jadi mudah rontok. Aku tak bisa bergaya seperti mereka. Rambutku selalu di potong bob ala Dora atau shagy.

Tapi aku pernah terharu oleh sebuah pembelaan teman laki-laki di sekolahku dulu. Teman-teman perempuanku pernah berkata, "Kita mah rambutnya panjang semua dong. Kita gak nerima cewek yang rambutnya pendek. Gak cantik." Aku sempat ingin menangis saat itu, "Cowokkan sukanya sama cewek yang rambutnya panjang." Aku terhenyak seperti ada yang menusuk tepat di jantungku. Akhirnya aku kembali duduk di bangkuku. Teman laki-laki di sekolahku langsung menghampiri ketiga perempuan tadi, memaki mereka. Dia membelaku di depan kelas. Dia berkata seperti ini, "Gue lebih suka sama perempuan yang rambutnya hampir botak dari pada sama perempuan yang rambutnya bagus tapi gak bisa menghargai orang lain." Rangakaian kalimat itu selalu kuingat. Saat dia membelaku, aku meneteskan air mata di mejaku. Ia menghampiriku kemudian, dan ini selalu kuingat. Ia berkata, "Gue tau lu pasti sakit banget. Lu pasti mau keliatan kaya mereka. Tapi sumpah gue lebih suka cewek yang apa adanya, gak terlalu begini-begitu ngikutin tren. Malah kadang keliatan norak kalo kaya gitu. Gue pengen ngeliat lu ngelukis lagi dong. Kalo lu lagi ngelukis itu keliatan adem banget deh." Aku hanya bisa tersenyum, ia berhasil menghiburku. Semenjak itu aku menjadi akrab, sampai-sampai saat dia bertengkar dengan kekasihnya aku yang menjadi penengah. Aku sempat iri saat melihat kekasihnya, ia memiliki standar kecantikan seperti di ikalan kosmetik.

Suatu ketika ketika rambutku panjangnya sudah menyentuh bahu, aku langsung menemuinya dan memberitahu bahwa rambutku sudah panjang sekarang. Ia menyentuh rambutku lalu seperti orang yang baru saja mendapatkan harta karun, ia meloncat-loncat menyelamatiku. Keesokan harinya ia membawakan aku sebuah bandana berwarna merah dan penjepit rambut. Katanya kekasihnya yang membelikan ini, aku dan kekasihnya berteman akrab. Kami sering pergi bersama, ia juga sangat perhatian kepadaku. Ia sering mengingatkanku, agar jangan bersedih. Cantik bukan seperti yang ada di iklan atau majalah. Cantik itu adalah menjadi diri sendiri katanya, ia selalu berkata setiap perempuan itu cantik. Apalagi kalau berjilbab, pasti lebih cantik. Dan yang terpenting, ini pesan yang selalu kuingat. Tersenyum selalu membuat perempuan manapun 10 kali lebih cantik dibandingkan dengan perempuan yang memakai make up tapi memasang wajah jutek atau cemberut. Yah, dari mereka aku belajar percaya diri. Dan mulai percaya bahwa, Aku cantik. Terserah apa kata orang yang bilang aku (tidak) cantik.

Sabtu, 19 Juli 2014

Ziarah Malam

Malam ini aku kembali mengunjungimu, dengan dada sesak menahan tangis aku memelukmu walaupun tak benar-benar. Rasanya semakin sakit ketika aku mengingat semua. Dulu kita hanya anak-anak yang saling jujur bahwa kita akan saling menjaga satu sama lain. Tapi kenyataan memang tak pernah sejalan dengan kita. Kau pergi sendiri.

Aku membawa setangkai bunga mawar merah untukmu, untuk mengobati lukamu. Aku menangis terisak sambil terus mendoakanmu, kemudian bernyanyi lagu anak-anak yang sering kita nyanyikan dulu. Kamu tak pernah ikut bernyanyi lagi sekarang, suaraku hilang ditelan tangisku yang kian deras. Aku sesugukan sendiri, nyatanya waktu 8 tahun sesudah perpisahan kita, aku masih sering menangis bila mengingatmu, aku masih merasa sakit kehilanganmu.

Aku memelukmu dalam doa, lalu mengecupmu erat sekali, seperti dulu kita selalu kaitkan kelingking untuk saling berjanji bahwa kita akan terus seperti ini. Dulu kita hanya anak-anak polos yang apa adanya, mengobral kejujuran yang kita punya sampai tak ada lagi rahasia. Aku kangen masa itu. Saat kita sama-sama main layangan di sawah, lalu makan bekal di saung milik warga. Masa kanak-kanak kita terlalu indah untuk dilupakan. Malamnya kita akan melihat bintang bersama, berebut bintang yang paling terang untuk kita beri nama lalu kita miliki.

Kita pernah berjanji bahwa kita akan selamanya seperti ini, seperti saat kita anak-anak. Kita akan terus bermain bersama, tetap berebut bintang sampai kita tua. Tapi, sekarang aku gak bisa tagih janji itu. Kenyataan gak membiarkan kita untuk saling menepati janji. Kamu sudah bahagia dengan dirimu sendiri, aku hanya mampu berziarah malam saat aku sempat.

Jumat, 18 Juli 2014

Aku Sudah Mati Berkali-kali

Aku sudah biasa ditikam sampai mati, lalu kemudian bangkit lagi. Aku wanita yang tak pernah bisa mati dibunuh, aku pernah mati sekali lalu dibangkitkan menjadi zombie. Sekarang aku menjadi manusia lagi setelah banyak minum darah manusia. Aku ditikam lagi berkali-kali, dia ini ingin aku mati. Tapi, mulai detik ini ia tak akan lagi membuat aku mati berkali-kali.
Kemarin kepalaku dihajar balok besar, hingga aku nyaris pingsan. Aku memang meringis kesakitan, tapi aku tak menangis di depannya. Kalau sampai ia melihatku menangis, aku akan ditembak mati tepat di jantungku sebelum aku sempat berkata apapun. Aku butuh waktu sekitar seminggu untuk bisa bangkit lagi. Hatiku sudah mati, hatiku diambilnya saat aku sedang lengah. Jadilah aku manusia tanpa rasa sekarang. Wajahku masih memar bekas pukulan dan tamparannya. Tulang rusukku patah, karena ditendang dan diinjaknya. Tapi aku tak memohon ampun agar ia melepaskannya. Aku malah mencarinya lagi ketika ia pergi, aku merasakan sakitnya lagi.
Aku tak pernah jera menghampirinya, orang bilang aku bodoh. Mau ditikam berkali-kali lalu mati dan bangkit lagi lalu menjadi manusia tanpa rasa. Orang bilang aku bodoh karena rela disiksa oleh cinta.

Lampion Terbang




Lagi-lagi aku pengen ngebahas tentang lampion. Sebenarnya aku udah lama suka banget sama lampion, ketika lampion itu terbang serasa ada sesuatu yang ikut bersamanya, entah itu doa, harapan, kenangan dan lain sebagainya. Rasanya lampion itu akan membawa semua hal baik ikut bersamanya terbang ke langit. Lalu, menyampaikan keinginan, doa dan harapan pada seluruh alam agar semua mendengar. Walaupun kita tahu lampion akan jatuh kembali atau hangus di angkasa. Tapi, itulah keistimewaan lampion. Kita tetap percaya padanya untuk membawa sejuta permohonan.

Malam memang memang membuat semua tampak samar, tapi lampion yang memperjelas malam. Mereka pasangan serasi. Maka malam dan lampion adalah satu kesatuan untuk sebuah malam yang sempurna.

Kamis, 17 Juli 2014

Ketika Perempuan Berbicara

Ayahku sering tak mengerti mengapa perempuan selalu berbicara. Ayahku sering berkata, "Apa kalian gak bisa mengerjakan sesuatu dengan tenang? Kalian selalu bicara dalam mengerjakan segala hal."
Ayah tak mengerti bahwa perempuan memiliki otak yang dirancang dengan banyak titik pusat berbicara. Otak perempuan dirancang untuk bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. Ayah selalu heran, ketika aku ada di dapur aku memasak sambil terus berbicara pada ibu yang ada di ruang depan, sementara dari dapur suara musik terus mengalun dan dari ruang depan suara tv terus merongrong. Dan di dapur sambil terus memasak, aku juga membersihkan dapur termasuk mencuci peralatan dapur dan terus saja asik menggonta-ganti lagu yang kusuka dari handphone. 
Ayah selalu bingung mengapa kami yang perempuan selalu bisa melakukan itu, bukan hanya perempuan-perempuan di rumah. Perempuan di kantornya juga. Mereka terus berbicara dengan teman sebelahnya sementara tangan-tangan mereka tetap bekerja. Ayah ingin seperti itu katanya, ingin punya keahlian perempuan yang tidak dimiliki laki-laki manapun di dunia ini.
Ketika ayah bekerja suasana harus diam dan tenang, kalau tidak pekerjaannya bisa salah nanti. Ketika ayah berbicara ia akan berhenti bekerja sebentar, lalu akan meneruskan pekerjaannya setelah ia selesai berbicara. Ayah akan pusing jika mendengar kami berbicara sementara ia terus bekerja. Kata ayah, "Laki-laki yang bisa melakukan pekerjaan sekaligus seperti yang perempuan sering lakukan pasti ia merupakan orang paling hebat di dunia. Ia terus berbicara sementara ia mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus."
Ayah selalu bingung dengan apa yang kami bicarakan ketika kami yang perempuan sedang berbicara, ayah selalu bilang kami seperti berbicara berbarengan. Tidak ada yang mengalah untuk mendengarkan dan satu orang menciptakan topiknya masing-masing,  dan kami tak pernah punya tema untuk setiap pembicaraan kami. Kami juga sering beralih topik dari satu topik ke topik lainnya. Ayah sering bingung sebenarnya apa yang dibicarakan oleh kami, sampai-sampai rasanya rumah seperti dipenuhi oleh warga sekampung.
Ayah tidak tahu bahwa kami hanya berbicara seputar yang terjadi di sekitar kami, kami berbicara bergantian dan setiap dari kami saling mendengarkan setelah itu kami saling menimpali, kami tidak menciptakan topik kami masing-masing, kami hanya mengaitkan topik yang dibahas dengan kejadian yang saling berhubungan. Kami memang sering berganti topik pembicaraan sehingga mungkin laki-laki akan bingung dengan apa yang kami bicarakan.
Perempuan memang begitu, Ayah!

Rabu, 16 Juli 2014

Bohong

Pukul 13.00, waktu untuk belajar menulis di sekolah. Ibu guru menyuruh kami menuliskan kejadian yang kami alami saat berangkat sekolah. Semua murid di kelas menulis bahwa mereka berangkat sekolah dengan diantar ayah, diantar supir, ada menulis bahwa mereka berangkat dengan naik taksi, ada yang bersepeda bersama kawan-kawan dan perjalanan mereka menyenangkan hingga sampai di sekolah. Hanya aku yang menulis bahwa aku berangkat sekolah dengan jalan kaki, aku berjalan setengah berlari karena takut terlambat. Ibu guru hanya menggelengkan kepalanya.

Aku menuliskan bahwa di perjalanan tadi, aku melihat sebuah kecelakaan. Seorang siswa SMA mengalami kecelakaan di jalan yang aku lewati pada pukul 12.00. Mobilnya menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga mobil mewah itu ringsek tak berbentuk. Ibu guru marah membaca tulisanku, katanya aku mengarang cerita, aku seorang pembohong, harusnya aku menulis sebuah kebenaran. Aku bilang, aku tidak berbohong. Tapi, ibu guru tidak percaya. Ia tetap menuduhku sebagai seorang pembohong, katanya mana mungkin aku bisa melihat kejadian itu sedangkan aku berada di sekolah sejak pagi. Aku ingin menjelaskan, tapi ibu guru tak mau mendengar penjelasan dari seorang yang katanya pembohong. Lalu aku berteriak, "Siswa itu, anak Ibu guru." Ibu guru lantas menaparku, menyuruhku untuk berhenti bicara dan membantah perkataannya. Ibu guru menghukumku berdiri di lapangan yang panas tanpa alas kaki, agar aku jera dan tak akan berbohong lagi.

Setelah puas melihat aku berjinjit-jinjit kepanasan, ia beranjak pergi meninggalkan aku di lapangan dalam keadaan telapak kaki terbakar, aku sudah hampir pingsan. Seorang guru lain mendekati Ibu guru, menyuruhnya agar berhenti menghukumku, tapi ibu guru malah menjawabnya dengan perkataan "Seorang pembohong harus dihukum seberat-beratnya. Karena kalau tidak, kebohongannya akan menjadi sebuah kebenaran yang akan diyakini oleh banyak orang. Semua orang akan bilang bahwa ia benar, padahal ia hanya seorang pembohong." Lalu guru lain itu pergi meninggalkan kami berdua, membiarkan kami menyelesaikan urusan kami. Sementara guru lain, mereka enggan tahu. 

Ibu guru berjalan meninggalkanku, lalu ponselnya berbunyi. Ia mengangkat telepon, lalu berbicara seanggun mungkin. Tapi kemudian aku melihatnya meneteskan air mata kian lama kian deras. Ibu guru memeluk kakiku, memohon anaknya dikembalikan. Aku hanya bisa bilang, "Aku bisa apa. Aku hanya seorang yang katanya pembohong."

Ibu guru meminta penjelasan kepadaku, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia masih yakin bahwa seluruh alam ini sedang membohonginya.

"Ibu guru sendiri yang bilang bahwa aku sekolah bohong-bohongan agar dipandang orang sebagai orang yang berpendidikan, ibu guru sendiri yang bilang aku belajar hanya bohong-bohongan supaya dibilang pintar, ibu guru juga bilang bahwa semua ucapanku itu bohong. Ibu guru tidak mau tahu, ibu guru tak mau mendengar penjelasanku, aku tidak berbohong. Tadi pukul 11.30 saat istirahat, aku pulang ke rumah. Aku berbohong kepada guru piket bahwa buku pelajaranku ketinggalan di rumah, padahal aku pulang karena ingin makan masakan ibuku. Jajanan di kantin saat ini sangat mahal, uangku tak cukup untuk membelinya. Pukul 11.55 aku berangkat kembali ke sekolah, pukul 12.00 saat di perjalanan aku melihat kerumunan, ternyata ada kecelakaan, korbannya seorang anak SMA."

Ibu guru masih menangis sambil memeluk kakiku, "Aku tidak berbohongkan, Bu. Coba Ibu baca kembali tulisanku. Aku menulis Saat aku berangkat kembali ke sekolah, bukan saat aku berangkat sekolah. Seharusnya ibu cermati dulu sebelum menuding dan menghukumku. Aku tidak berbohong kan?!" Aku menatapnya dengan perasaan tak berdosa, membiarkannya terus berlutut di depanku.

"Harusnya kamu memberitahukan aku dari awal, bahwa korbannya anakku." Ia berteriak padaku.

"Sebenarnya aku tidak tahu bahwa itu anak ibu guru, aku hanya berbohong. Supaya ibu guru membebaskan aku dari hukuman." Aku tersenyum polos.