Ya Tuhan, memang waktu telalu cepat
berjalan. Kita Cuma mampu mengikuti kemana arah dia pergi, cepat atau lambat,
senang atau tidak kita terus berjalan mengikuti waktu. Sebenarnya tidak ada
definisi yang tepat untuk waktu, satuan waktu memang jelas sudah ada dalam
satuan fisika yang sebagian bilang bahwa satuan itu hanya imaginer untuk
memudahkan manusia menentukan waktu, detaknya juga terartur dan telah dihitung
sedemikian rupa. Hanya saja perasaan setiap orang berbeda dalam melawati waktu,
ada yang merasa waktu terlalu cepat berlalu ketika sedang berbahagia, sebagian
merasa waktu terlalu lama ketika sedang dalam kebosanan, kesepian. Waktu
bergantung pada moment yang dihadapi oleh setiap orang.
Seperti kemarin ketika kami semua
sedang berkumpul, seorang tetanggaku menegurku lembut.
“Ya ampun Ika, sekarang udah besar
ya. Perasaan baru kemarin ngangkutin abu gosok di warung ibu sampe ludes.
Hahahaha.”
“Itu bukan aku, Bu. Itu kelakuaannya
si Ani.”
“Oiya, itu Ani ya. Oh, kalo Ika mah
yang mandi sama bebek ya sampe korengan semua.”
Salah satu dari mereka nyeletuk, “Kalo
orang mah mandi pake bebek-bebekan. Kalo Ika mah pake bebek beneran. Besok-besok
mandinya pake kambing. Hahahaha.” Semua tertawa sementara aku hanya bisa
tersenyum simpul.
“Gak berasa ya sekarang udah gede,
udah kerja. Perasaan kemaren masih suka lari-larian sama Adam, Aris, Marni sama
si Nonon. Eh, bentar lagi mau nikah. Kapan Ka mau nikah? Marni udah nikah. Ika
mau kapan? Udah punya calon. Ika gak pernah keliatan punya pacar. Hahahaha.”
Isshhh kepo. “Kapan ajalah, kalo
jodohnya udah siap ngelamar aku. Hahahaha.” Jawabku pendek karena tak tahu
harus berkata apalagi. Aku segera meninggalkan mereka yang masih sibuk
bercakap-cakap, menikmati malam sendirian.
Sejak
kecil aku berada di sana, banyak moment yang terekam di tempat itu. Aku masih
mengingat dengan jelas bagaimana aku dan teman-temanku berlari, bersembunyi dan
memetik jambu, buah cermai atau melempari mangga milik tetangga. Aku masih
mengingat bagaimana rasanya dipeluk, dibelai lembut oleh ibuku setiap ingin
tidur. Aku masih ingat bagaimana ibu bercerita tentang Batu Belah Batu
Bertangkup dan Nenek Geregap sebagai dongeng penghantar tidurku. Aku masih
mengingat bagaimana rasanya dijunjung tinggi oleh ayahku di atas bahunya. Aku
merasa sangat tinggi, tinggi sekali dan bahagia.
Aku
kangen masa kecilku, saat ibu menyisir rambutku sehabis mandi dan memakaikannya
jepitan. Aku kangen ketika aku disuapi ibu makan dan ibu bilang makan yang
banyak supaya cepat besar dan pintar. Aku kangen dengan mainan buatan ayahku.
Ya,
aku memang cepat besar dan kalianpun begitu. Kalian bertambah tua dan mulai
memiliki keriput di wajah. Karena kita terus berjalan mengikuti kehendak waktu.
Cepat atau lambat yang kita rasa tentang waktu, waktu telah memiliki aturannya
sendiri ia berdetak dengan pasti pada detik jam. Hanya saja moment yang kita
lalui yang membuatnya terasa cepat atau lambat. Itu masalah hati yang tak
pernah ada landasan tolak ukurnya.
Jadi
apakah waktu itu? Apa sebenarnya waktu itu ada?
Jadi
bagaimana jika waktu hanya ilusi dan kita dipercayakan oleh rumus fisika selama
ini.
Tapi
mengapa aku cepat menjadi dewasa dan lekas mati?
Tapi
mengapa, waktu itu abadi dengan segala kenangan yang ia simpan.