Tadi
di kampus aku dan kawan-kawanku bercerita tentang tujuan hidup kami, akan
kemana kami setelah lulus nanti. Mulai ada yang ingin menjadi editor, jadi
PNS, guru dan lain sebagainya. Ketika
pada giliranku, aku bercerita bahwa aku ingin berternak Sapi, kambing, domba,
segala jenis unggas dan ikan. Aku juga ingin berkebun, menanam dan memelihara
macam-macam bunga, jagung, umbi-umbian, dan segala jenis palawija. Tapi mereka
malah tertawa, mungkin mereka pikir aku sedang bercanda. Tapi, aku sungguh
sangat serius, bahwa aku ingin berternak sekaligus berkebun. Aku meyakinkan
mereka, dan mereka malah tertawa semakin keras. Mungkin mereka pikir, “Untuk
apa aku kuliah sekarang kalau ujung-ujungnya hanya berurusan dengan kotoran
hewan.” Mungkin pemikiranku, tak bisa diterima oleh mereka, tapi aku yakin. Aku
akan menjadi orang paling bahagia di antara mereka semua, walaupun aku hanya
mempunyai sebuah rumah mungil, tempat aku dan keluargaku berlindung nanti. Tapi
rumah mungil pedesaan yang terbuat dari batu alam dan kayulah yang selalu aku
impikan, lalu ada sebuah teras mungil dengan dua buah kursi kayu serta sebuah
meja bundar untukku menikmati lelahku setelah seharian menguirus ternak dan
kebun, memikirkan apa yang akan aku tulis nanti di saat semua orang terlelap.
Aku
berkata kepada teman-temanku, bahwa setelah kuliah nanti aku akan mencari modal
untuk mewujudkan cita-citaku. Aku akan membangun cita-citaku dari nol mungkin
lebih tepatnya dari minus. Toh, selama ini juga hidupku tak pernah mudah dan
kalau teman-temanku berusaha dari nol maka aku dari minus, aku tak pernah
menerima segala sesuatu yang instan. Karena memang tak ada memberi, kalau ada
yang memberi. Entahlah, akan aku terima atau tidak. Setidaknya, segala sesuatu
yang dimulai dari bawah akan lebih lama bertahan dan lebih berkesan bukan?
Setiap
orang memiliki tujuan hidup, begitu juga aku. Itulah tujuan hidupku. Mempunyai
hektaran kebun bunga, umbi-umbian dan palawija, lalu dari hektaran tanah itu
terdapat perternakanku dengan ratusan sapi, kambing, domba, unggas dan ikan.
Setiap hari akan ada orang yang mengantarkan susu, telur, daging, ikan dan
sayur ke rumah mungilku sementara aku sibuk membuat kue yang akan aku jual
nanti di toko kue seberang perkebunanku. Setiap orang yang lewat akan tergiur membeli
setelah mencium aroma kue yang kubuat. Aku mendapatkan semua bahan itu aku
dapatkan dari kebun dan ternakku sendiri, aku mengolahnya sendiri dan kujual
sendiri. Bukankah sangat indah bila hidupku seperti itu?
Setiap
sore datang aku pulang ke rumah mungilku yang berhalaman luas di tengah
perkebunan, melewati hamparan bunga-bunga, umbi-umbian serta sayuran yang
kutanam. Saat aku berjalan pulang, aku bisa bercengkrama dengan burung-burung
yang berusaha mencuri jagung-jagung milikku, lalu kupu-kupu akan mengiringi
langkah kakiku, mereka akan mengantarku sampai ke depan pagar rumahku yang
terbuat dari kayu. Saat aku duduk di beranda rumahku nanti, aku dapat mendengar
ternak-tenakku bernyanyi riang. Pulang ke kandang masing-masing setelah lelah
seharian bermain di perternakkanku yang luas dengan rumput yang juga juga hijau
serta air yang jernih. Saat mereka lelah bermain mereka bisa beristirahat
dibawah pohon-pohon rindang yang banyak tumbuh di peternakanku. Hidupku pasti
yang paling damai dan tentram di antara teman-temanku yang lebih memilih bekerja
di perkantoran. Aku tahu, mereka mencari uang sebanyak-banyaknya lalu
mengahabiskannya begitu saja karena mereka mencari kedamaian, mencari
kesenangan. Padahal yang harusnya mereka cari adalah pedesaan. Dan pada
akhirnya mereka akan mencari aku, menumpang menginap di akhir pekan di rumah
mungilku yang tenang dan hangat. Dan selalu begitu setiap akhir pekan karena
bosan dan jenuh dengan kebisingan dan rutinitas kota yang tak pernah mati.
Mungkin
aku satu-satunya orang kota yang tak suka pergi ke mall, bioskop makan di
restoran seperti teman-temanku. Karena semua itu hanya membuatku lelah, aku tak
bisa terlalu lama berinteraksi dengan suasana ramai, itu semua membuatku merasa
lelah dan akhirnya aku malah sepeti orang kebingungan. Mungkin aku satu-satunya
orang kota yang sangat desa. Bahkan kalau nanti impianku itu terwujud, aku tak
ingin membeli pakaian yang sedang tren di masanya. Cukup aku memakai pakaian
yang aku nyaman saat memakainya. Sisanya untuk ditabung, menambah usahaku,
membeli kendaraan untuk mengangkut hasil ternak dan kebunku, membantu keluarga
dan tetanggaku, walaupun rumahku berada di dalam perkebunan dan tak ada satupun
tetangga, serta untuk biaya kelangsungan hidup anak-anakku nanti.
Terlalu
muluk ya, jika aku ingin menjadi peternak dan petani yang kaya?
Bahkan
lebih muluk dari mimpi teman-temanku yang hanya ingin menjadi PNS, guru,
pekerja kantoran. Tapi jujur aku tak akan sanggup sepeti mereka, aku lebih
nyaman berada di rumah, menulis, memperhatikan lingkungan sekitarku dan menatap
bintang-bintang.
Masih
terlalu mulukkah mimpiku itu?
Kalaupun
ternyata mimpi itu tak tercapai nantinya, setidaknya aku telah berusaha dan selalu
ada kesempatan kedua. Karena setiap hari adalah kesempatan kedua.
Itu
tidak terlalu muluk kan?
Semoga
tidak terlalu muluk.
Pasti
tidak ada yang terlalu muluk.