Senin, 22 September 2014

Aku Ingin Berternak dan Berkebun

Tadi di kampus aku dan kawan-kawanku bercerita tentang tujuan hidup kami, akan kemana kami setelah lulus nanti. Mulai ada yang ingin menjadi editor, jadi PNS,  guru dan lain sebagainya. Ketika pada giliranku, aku bercerita bahwa aku ingin berternak Sapi, kambing, domba, segala jenis unggas dan ikan. Aku juga ingin berkebun, menanam dan memelihara macam-macam bunga, jagung, umbi-umbian, dan segala jenis palawija. Tapi mereka malah tertawa, mungkin mereka pikir aku sedang bercanda. Tapi, aku sungguh sangat serius, bahwa aku ingin berternak sekaligus berkebun. Aku meyakinkan mereka, dan mereka malah tertawa semakin keras. Mungkin mereka pikir, “Untuk apa aku kuliah sekarang kalau ujung-ujungnya hanya berurusan dengan kotoran hewan.” Mungkin pemikiranku, tak bisa diterima oleh mereka, tapi aku yakin. Aku akan menjadi orang paling bahagia di antara mereka semua, walaupun aku hanya mempunyai sebuah rumah mungil, tempat aku dan keluargaku berlindung nanti. Tapi rumah mungil pedesaan yang terbuat dari batu alam dan kayulah yang selalu aku impikan, lalu ada sebuah teras mungil dengan dua buah kursi kayu serta sebuah meja bundar untukku menikmati lelahku setelah seharian menguirus ternak dan kebun, memikirkan apa yang akan aku tulis nanti di saat semua orang terlelap.

Aku berkata kepada teman-temanku, bahwa setelah kuliah nanti aku akan mencari modal untuk mewujudkan cita-citaku. Aku akan membangun cita-citaku dari nol mungkin lebih tepatnya dari minus. Toh, selama ini juga hidupku tak pernah mudah dan kalau teman-temanku berusaha dari nol maka aku dari minus, aku tak pernah menerima segala sesuatu yang instan. Karena memang tak ada memberi, kalau ada yang memberi. Entahlah, akan aku terima atau tidak. Setidaknya, segala sesuatu yang dimulai dari bawah akan lebih lama bertahan dan lebih berkesan bukan?

Setiap orang memiliki tujuan hidup, begitu juga aku. Itulah tujuan hidupku. Mempunyai hektaran kebun bunga, umbi-umbian dan palawija, lalu dari hektaran tanah itu terdapat perternakanku dengan ratusan sapi, kambing, domba, unggas dan ikan. Setiap hari akan ada orang yang mengantarkan susu, telur, daging, ikan dan sayur ke rumah mungilku sementara aku sibuk membuat kue yang akan aku jual nanti di toko kue seberang perkebunanku. Setiap orang yang lewat akan tergiur membeli setelah mencium aroma kue yang kubuat. Aku mendapatkan semua bahan itu aku dapatkan dari kebun dan ternakku sendiri, aku mengolahnya sendiri dan kujual sendiri. Bukankah sangat indah bila hidupku seperti itu?

Setiap sore datang aku pulang ke rumah mungilku yang berhalaman luas di tengah perkebunan, melewati hamparan bunga-bunga, umbi-umbian serta sayuran yang kutanam. Saat aku berjalan pulang, aku bisa bercengkrama dengan burung-burung yang berusaha mencuri jagung-jagung milikku, lalu kupu-kupu akan mengiringi langkah kakiku, mereka akan mengantarku sampai ke depan pagar rumahku yang terbuat dari kayu. Saat aku duduk di beranda rumahku nanti, aku dapat mendengar ternak-tenakku bernyanyi riang. Pulang ke kandang masing-masing setelah lelah seharian bermain di perternakkanku yang luas dengan rumput yang juga juga hijau serta air yang jernih. Saat mereka lelah bermain mereka bisa beristirahat dibawah pohon-pohon rindang yang banyak tumbuh di peternakanku. Hidupku pasti yang paling damai dan tentram di antara teman-temanku yang lebih memilih bekerja di perkantoran. Aku tahu, mereka mencari uang sebanyak-banyaknya lalu mengahabiskannya begitu saja karena mereka mencari kedamaian, mencari kesenangan. Padahal yang harusnya mereka cari adalah pedesaan. Dan pada akhirnya mereka akan mencari aku, menumpang menginap di akhir pekan di rumah mungilku yang tenang dan hangat. Dan selalu begitu setiap akhir pekan karena bosan dan jenuh dengan kebisingan dan rutinitas kota yang tak pernah mati.

Mungkin aku satu-satunya orang kota yang tak suka pergi ke mall, bioskop makan di restoran seperti teman-temanku. Karena semua itu hanya membuatku lelah, aku tak bisa terlalu lama berinteraksi dengan suasana ramai, itu semua membuatku merasa lelah dan akhirnya aku malah sepeti orang kebingungan. Mungkin aku satu-satunya orang kota yang sangat desa. Bahkan kalau nanti impianku itu terwujud, aku tak ingin membeli pakaian yang sedang tren di masanya. Cukup aku memakai pakaian yang aku nyaman saat memakainya. Sisanya untuk ditabung, menambah usahaku, membeli kendaraan untuk mengangkut hasil ternak dan kebunku, membantu keluarga dan tetanggaku, walaupun rumahku berada di dalam perkebunan dan tak ada satupun tetangga, serta untuk biaya kelangsungan hidup anak-anakku nanti.

Terlalu muluk ya, jika aku ingin menjadi peternak dan petani yang kaya?

Bahkan lebih muluk dari mimpi teman-temanku yang hanya ingin menjadi PNS, guru, pekerja kantoran. Tapi jujur aku tak akan sanggup sepeti mereka, aku lebih nyaman berada di rumah, menulis, memperhatikan lingkungan sekitarku dan menatap bintang-bintang.

Masih terlalu mulukkah mimpiku itu?

Kalaupun ternyata mimpi itu tak tercapai nantinya, setidaknya aku telah berusaha dan selalu ada kesempatan kedua. Karena setiap hari adalah kesempatan kedua.

Itu tidak terlalu muluk kan?

Semoga tidak terlalu muluk.


Pasti tidak ada yang terlalu muluk.

Kamis, 18 September 2014

18 September

18 September, 21 tahun yang lalu aku lahir ke dunia. Orang tuaku menjadi orang paling berbahagia ketika itu. Hari ini aku berulang tahun yang ke-21, sebenarnya aku tak pernah menganggap hari kelahiranku istimewa. Biasa saja, karena dari kecilpun ulang tahunku tak pernah dirayakan. Aku tak dilahirkan untuk merayakan ulang tahunku.

Di saat aku ulang tahun, aku lebih banyak merenung. Menghitung sisa usiaku. Bersyukur kepada Tuhan karena masih diberikan kesempatan untuk mehirup udara di bumi ini, bersyukur karena aku masih bisa bertahan dibanding teman-temanku yang lebih dahulu mendahuluiku ke alam baka.

Hari ini aku merasa senang sekaligus sedih, mengingat sisa usiaku yang semakin sedikit. Tapi rasanya aku masih belum berbuat apapun hingga hari ini. Aku merasa bahagia karena hari ini teman-temanku memberikanku sebuah kejutan. Walaupun sederhana tetapi mengesankan di masa-masa akhir kuliahku. Mungkin tahun depan aku tak bisa bersama mereka lagi, kami akan menempuh jalan kami masing-masing.


Aku ingin terus mengingat hari ini, di saat aku dan teman-temanku tertawa bahagia. Di saat teman-temanku menjahiliku, memberikan kejutan manis sepulang kuliah. Akan aku ingat terus hari ini. Aku tak mau lupa ingatan lagi.

Selasa, 16 September 2014

Aku Ingin Menangis

Akhir-akhir ini aku terlalu sering meneteskan airmata. Apa aku telah berubah dari perempuan yang keras kepala dan selalu merasa tangguh menjadi perempuan melankolis dengan perasaan yang sensitif karena kebanyakan menonton drama korea? Aku merasa akhir-akhir ini aku terlalu berperasaan terhadap segala sesuatu yang aku hadapi. Aku tak setangguh dulu lagi.

Aku diberi nama Sanel agar aku menjadi orang kuat, bukan menjadi lemah dan terlalu banyak menangis seperti saat ini. Biasanya durasiku menangis paling lama lima menit setelah itu aku harus kembali ceria lagi. Akhir-akhir ini durasi menangisku menjadi bertambah lama, sekitar tujuh menit kalau tidak salah. itupun terasa masih ada sesuatu yang mengganjal dan aku masih ingin menangis untuk melepaskan ganjalan itu. Tapi kalau aku menangis lagi aku akan bertambah lemah dan perasa.

Masalah yang datang bertubi-tubi membuatku merasa tidak sanggup dan ingin menyerah. Tapi kalau sampai aku menyerah, aku dipermalukan oleh diriku sendiri. Karena selama ini, aku selalu dapat mengatasi masalah. Mengalahkan mereka satu persatu dengan tanganku sendiri. Dan aku tak pernah menangis walaupun mereka menghantamku bersama-sama, keroyok sana sini. Aku melawan mereka sampai mereka lelah dan mati sendiri. Setelah itu aku mendapat luka yang sangat banyak namun itu semua membuatku semakin kuat dan semakin tahan sakit. 

Kali ini berbeda, masalahku tidak berat tapi sangat banyak lebih banyak dari masalah sebelumnya yang masih dapat dihitung jari namun sulit diselesaikan. Tapi, justru masalah ini yang membuatku ingin menyerah. Aku seperti kehilangan akal sehatku sendiri. Aku tak tahu bagaimana harus menyelesaikannya, aku tak tahu bagaimana aku akan memulainya dan aku tak tahu harus bercerita kepada siapa. 

Aku ingin menangis....

Senin, 15 September 2014

Jangan Usir Aku Sebelum Aku Bosan Menyebut Namamu

Kamu punya nama yang lucu. Menurutku namamu sangat indah namun lucu. Ketika semua orang memanggil nama belakangmu, aku lebih suka memanggil nama depanmu, sangat menarik dan terasa aneh jika aku mengucapkan nama itu.

Aku mendadak gila karena namamu itu, aku menjadi seperti orang bodoh yang tak bisa berpikir apa-apa selain tentang dirimu. Mungkin karena kau menguasi tiga perempat pikiranku. Ya, pasti karena itu.

Aku selalu ingin menyapa namamu yang lucu itu, tapi terlalu malu atau entah karena takut tak bisa menyebutnya dengan benar. Tapi, kalau kau mau tau aku selalu berlatih menyebut namamu setiap hari. Takut takut jika nanti aku butuh menyebut namamu suatu saat nanti, biar aku bisa dengan baik menyebut namamu. Tidak perlu membuat aku atau kau malu di depan umum.

Tak apa kan jika aku terus menyebut namamu di dalam hati? Kau tak perlu merasa terganggu jika telingamu terus berdenging nanti. Itu pasti aku yang menyebut namamu. Pukul saja hatimu, agar aku bisa merasakan sakitnya. Aku akan berhenti sementara, dan saat kau tertidur aku akan kembali menyebut namamu lagi. Kalau begitu baca saja semua doa yang kau bisa, biar aku bisa pergi ketika kau merasa kesal dan terusik.


Tapi bisa aku pastikan, jika kau terus membaca segala doa ataupun mantra yang bisa mengusirku dari hidupmu. Maka kau akan kesepian dan selalu mencariku karena kehilangan. Maka dari itu, izinkan aku menyebut namamu sampai bosan sendiri, sampai aku tak mau lagi menyebut namamu itu. Tutup saja telingamu itu dengan bantal yang tebal, atau sumpal telingamu dengan apapun yang kau temukan. Setel musik sekencang-kencangnya agar kau tak perlu mendengar suaraku. Jangan usir aku sebelum aku bosan menyebut namamu.

Apa Aku Kelewat Tegar?

Apa aku kelewat tegar sebagai seorang wanita? Aku hanya menangis tiga bulan sekali. Itu pun jika memang benar-benar terasa sakit dan rasanya aku ingin meledak.

Apa aku kelewat sabar sebagai seorang perempuan? Menahan sakit dan perih seorang diri, tak pernah mau berbagi kepada yang lain. Mungkin karena aku selalu berpikir bahwa mereka hanya butuh aku yang ceria. Dan tak satu orangpun yang ingin melihat airmataku.

Apa aku terlalu tangguh sebagai manusia terutama karena perempuan? Selalu berusaha melepaskan masalah sendiri, terlalu sombong dan takabur. Selalu merasa aku bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Aku merasa tak butuh orang lain.

Aku tau, aku terlalu memaksakan diriku sendiri. Membuat luka di semua tempat, menyakiti yang ada di sekitarku. Bahkan melukai diriku sendiri karena aku selalu merasa bisa menang dalam semua hal, aku selalu berkata sombong bahwa aku bisa menaklukkan segalanya.


Karena aku selalu tau, bahwa mereka selalu bisa luluh karenaku.

Sabtu, 13 September 2014

Hanya Olehku, Karenaku dan Untukku

Pertanyaan mengapa aku sangat suka malam, sama seperti pertanyaan mengapa aku jatuh cinta padamu. Tak akan pernah bisa aku jawab sampai kapanpun. Kalau suatu ketika nanti kau bertanya hal itu kepadaku dan menuntutku untuk menjawabanya, maka akan diam karena memang aku tidak tahu mengapa. Jika kau terus menuntutku untuk menjawab maka aku akan pergi meninggalkanmu, karena mungkin kau tak akan pernah percaya bahwa aku sungguh mencintaimu.

Aku memang jatuh cinta padamu, tapi kalau nanti kau memintaku berubah menjadi seperti wanita yang kau sukai saat ini atau paling tidak kau memintaku mengubah gaya berpakaianku yang seperti orang habis bangun tidur. Maka aku akan pergi, karena aku tak pernah mau berubah untuk siapapun apalagi hanya karena aku jatuh cinta padamu. Aku tak rela kehilangan diriku sendiri hanya karena aku mencintaimu. Dan, kau tak bisa seenaknya mengaturku dan memintaku berubah. Aku memang jatuh cinta padamu, tapi bukan berarti hidupku hanya berorientasi padamu. Aku punya banyak hal yang lain yang aku kerjakan, dan sudah pasti aku dapat melupakanmu dalam sekejap saat aku meninggalkanmu. Tenggelam sendirian dalam kesibukkanku. Walau harus aku akui bahwa memang sangat sulit dan menyesakkan di awal, tapi yakinlah aku aku akan melupakanmu paling tidak dalam dua minggu.

Asal kau tau, seberapapun aku mencintaimu. Aku masih lebih mencintai diriku sendiri. Oleh karena itu, tak ada yang bisa menyakitiku selain aku. Dan aku sangat tahu, bahwa kau tak pernah menginginkaku dan memang tak pernah ada yang menginginkanku, hanya aku sendiri yang menginginkan aku. Maka itu, tak ada yang bisa mengubahku dan aku tak mau berubah untuk siapapun kecuali karena aku sendiri.

Jumat, 12 September 2014

Maukah Kau Menghancurkan Hatiku?

Maukah kau menghancurkan hatiku? Hancurkan saja sampai berkeping-keping. Agar aku tak punya hati lagi, jadi aku tak akan pernah jatuh cinta lagi kepada siapapun. Aku ingin tahu bagaimana rasanya hancur. Aku ingin menghadapi karmaku yang telah menghancurkan hati banyak orang.

Kalau hatiku dihancurkan olehmu, mungkin aku akan tenang. Aku tak akan membiarkan hatiku membusuk dan bernanah lalu digerogoti lalat dan belatung. Biar saja hatiku hancur, hangus menjadi abu. Daripada, aku harus melihat hatiku sendiri membusuk karena luka yang aku ciptakan di sana.

Hatiku telah lama mati, karena banyak luka yang kubuat di sana. Tapi, ia belum hancur. Ia masih bisa bergetar, ia masih bisa membuatku merasa sakit dan sesak. Ia setengah hidup, seperti zombie. Maka harusnya ia benar-benar mati, menjadi abu agar aku tak pernah sesak lagi karenanya. Biar saja begitu, sepertinya memang lebih baik begitu.

Cerita Hari Ini

Aku melihatmu tadi, dalam jarak yang cukup dekat. Tapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Apa rasa deg-deganku sudah basi sekarang? Atau, karena jantungku sudah terlatih menahan ledakan setiap kali aku bertemu denganmu? Atau mungkin juga karena aku sadar tak akan mungkin menggetarkan hatimu, karena aku tak pernah tampak di matamu? Tak pernah ada aku. Tak pernah ada kita.

Kalau aku tak ada dimanapun di tubuhmu, aku tak apa. Aku hanya butuh kau tampak di mataku. Memandang ke dalam matamu, dan mencoba menebak apa yang kau pikirkan. Itu sudah lebih dari cukup.

Aku sedang melindungi hatimu, aku tak ingin mengusiknya. Aku ingin ia tetap tenang sama seperti dulu sebelum aku jatuh cinta padamu. Aku ingin hatimu tetap pada kondisinya dulu, aku ingin hatimu tetap menjaga cintanya pada perempuan itu. Aku ingin begitu.

Tahukah kau, bahwa aku menulis ini sambil menahan air mata? Kau mungkin berpikir aku terlalu munafik, aku terlalu bodoh. Itu terserah kau, menilaiku seperti apa. Itu urusanmu. Tapi, beginilah caraku mencintaimu. Aku tetap akan diam sampai kapanpun, menahan sesak setiap saat. Beginilah caraku, terlalu menyesakkan memang.

Kamis, 04 September 2014

Sebab Malam Telah Mati

Tak ada bintang malam ini, karena memang tak pernah ada malam. 
Malam hanya legenda hidup kita, yang tak pernah nyata.

Tak ada malam, kau berbisik.
Memang tak pernah ada malam.
Tak pernah ada basa-basi.
Atau salam yang akhirnya basi sendiri karena tak pernah disentuh.

Sebab malam telah mati.
Kita hanya potong-potongan kecil, dari mayat yang dibuang kemarin.

Sebabnya malam mati.
Kita hidup dari potongan mayat yang dimutilasi kemarin.
Kau menantang langit, memecah matahari yang tak pernah mau turun.
Kemudian berbisik: Ya, karenamu malam menjadi mati.

Hadiah

Aku diciptakan bukan sebagai manusia. Lalu seorang memberiku topeng, untuk menutupi kekuranganku, agar orang lain menganggapku sama seperti mereka. Seorang lagi merias wajahku, agar tampak lebih manusia, khususnya sebagai perempuan. Seorang lagi memberikanku pakaian bagus. Kemudian seorang lagi memberikanku perhiasaan, agar aku tampak lebih berkilau. Seorang lagi menumbuhkan rambut di kepalaku yang botak, agar aku terlihat lebih cantik. Dan terakhir seorang memberikanku keterampilan yang aku butuhkan, agar aku mampu bertahan hidup.


Akhirnya, tanpa perlu mengotori tanganku sendiri. Mereka telah bersusah payah menutupi kekuranganku. Lalu, Apa yang harus aku perbuat untuk kalian?

Ultimatum

Bagaimana jika aku diciptakan bukan sebagai seorang pemaaf? Tak ada toleransi bahkan untuk sebuah kesalahan kecil. Kemarin malam seorang bertemu denganku, ia telah salah. Kemudian ia menambah kesalahannya. Ia menusukkan pisau di punggungku, sampai menembus tulang rusuk. Lalu, ia menyayatnya sampai ke bawah ketiak. Rasanya perih dan sakit, aku juga tak suka dengan darah yang merembesi pakaianku. Tapi, itu semua tak sesakit luka yang tak mengeluarkan darah. Seorang yang percayai berusaha membunuhku dengan segala cara. Rasa percaya itulah yang sebenarnya melukaiku. Aku melakukan kesalahan, aku mempercayai orang yang salah. Maka itulah hukuman yang aku tanggung untuk kesalahanku.


Tak ada maaf, tak ada ampun. Sekali waktu aku memaafkan kesalahnnya, sekali waktu aku memberinya kesempatan untuk berlari menjauh dariku jika memang merasa takut. Kali ini aku akan pastikan bahwa bagaimanapun caranya orang itu akan hancur perlahan di tanganku. 

Senin, 01 September 2014

Apa Aku Terlihat Bodoh?

Apa aku terlihat seperti seorang wanita bodoh, karena rela menunggumu?
Apa aku terlihat bodoh karena tak mampu berkata apapun padamu?
Sekali lagi, apa aku seperti orang bodoh, karena aku jatuh cinta padamu?
Dan apakah aku bodoh jika aku cemburu pada wanita yang kau cintai?
Apa aku terlihat bodoh ketika berhadapan denganmu, dengan segala salah tingkahku?

Pasti kau akan menjawab: "Iya, kamu memang bodoh."

Dan aku akan mengangguk setuju sambil berkata: "Iya, aku menjadi bodoh karenamu."

Sakit

Aku memang sudah akrab dengan rasa sakit. Tapi tetap saja rasa sakit itu membuatku menangis. Semua orang hanya tau bahwa aku baik-baik saja. Mereka hanya tau bahwa aku tertawa dan tersenyum bahagia bersama mereka. Tapi mereka tak tahu bahwa setelah satu persatu mereka pergi, aku menangis diam-diam. Mengurung diriku sendiri dalam sepi, agar tak ada yang tau bahwa aku sedang menangis. Aku harus terlihat tegar di depan mereka, bagaimana mereka akan tegar jika aku menangis kesakitan di depan mereka. Mereka akan terus bertanya kenapa, jika aku terlihat menangis. Mereka akan bertanya, "Sakit ya?". Dan jika sudah begitu maka aku hanya bisa mengangguk tanpa bisa berkata apapun.

Malam ini hatiku terasa sakit, rasanya seperti ditusuk-tusuk. Tiba-tiba, aku merasa hatiku sakit sekali. Dan aku ingin menangis karenanya. Aku putuskan untuk menangis sampai lega dan kemudian memutuskan menulis. Bercerita pada siapapun yang membacanya nanti. Bahwa malam ini hatiku sakit sekali.