Minggu, 12 Juli 2015

PUISI:Bagian Kedua "Pertemuan dengan Oryza"

            Asoka benar-benar meninggalkan Puisi, ia benar-benar tak kembali. Puisi hanya duduk termenung sendiri, suasana kantin pukul 11 siang memang tak terlalu ramai. Usai memesan makanannya, Puisi memikirkan apa yang barusan saja terjadi.
            “Apa yang salah? Mengapa Asoka meninggalkanku begitu saja?” Puisi benar-benar tak mengerti bagaimana orang lain menganggap dia sinting dengan segala pertanyaannya. Biasanya hanya Asoka yang mau mendengarkannya bercerita hingga berjam-jam lamanya. Kini Asoka seperti yang lain, mulai meninggalkan Puisi.
            “Hai, boleh duduk di sini?” Suara seorang pria menyadarkannya kembali.
            “Oh, memangnya tidak ada tempat lagi?” Puisi merasa terusik dengan kehadiran pria itu. Namun berusaha menyembunyikannya sebaik mungkin.
            “Sudah penuh diisi mahasiswa yang lagi ulang tahun.”
            “Ya, silahkan saja.”
            “Aku sudah duduk dari tadi.” Pria itu mencoba menggoda Puisi yang sejak tadi tampak tak bersemangat. Namun seperti biasa Puisi bersikap dingin. Tak lama setelah itu, pesanan Puisi datang. Seporsi ayam penyet dengan sambal yang ditaruh dipinggir piring dan garpu serta sendok seperti biasa.
            “Ayam penyet? Tapi sambalnya dipinggir. Kenapa gak sekalian pesen pecel ayam aja? Sama aja toh.”
            “Ih berisik deh. Ini biar gak panas tau.” Lantas Puisi langsung melahap makanannya. Setelah meneguk air dari botol minumannya dan menyingkirkan lalapan.
            “Loh kan kamu makannya pake sendok garpu? Minta timun sama seladanya dong buat aku nanti makan. Hahahaha. Sayap sama kulit ayamnya juga disingkirin? Buat aku aja ya.”
            “Ih berisik. Ambil aja kalo mau. Aku gak suka diganggu waktu makan.”
            Pria itu terdiam, Puisipun diam menikmati makanannya. Selada, mentimun, sayap dan kulit ayam yang Puisi singkirkan ia taruh di piring pria itu. Dari cara pria itu menatap Puisi, mulai timbul sedikit rasa simpati. Selesai makan pria itu ingin membuka percakapan dengannya agar mengenal sosok yang sedang khidmat menikmati makanannya.
            “Udah selesai makan kan? Jangan pergi dulu. Aku pengen ngobrol-ngobrol sebentar. Katanya kamu kan gak suka diganggu waktu makan. Sekarang udah selesaikan. Ayo ngobrol dulu.”
            “Mau nawarin produk ya? Sorry gak minat.” Puisi menjawab malas sambil membuka dompetnya. Kemudian bergegas pergi meninggalkan kantin yang sekarang semakin penuh karena waktu telah menunjukan pukul 12.
            “Gak. Bukan gitu. Aku Oryza. Kita ngobrol di luar aja yuk.” Puisi telah berjalan keluar, sementara Oryza terus mengikutinya. Puisi pergi ke taman kampus. Duduk menyendiri di pinggir danau.
            “Oke Oryza Sativa. Sekarang mau kamu apa? Kalau macam-macam aku bisa mendorongmu ke danau.”
            “Loh kok kamu tau nama lengkapku? Jangan-jangan kamu...”
            “Oh God, Please. Aku bukan penguntit. Udah biasa jika orang tua yang memberikan nama anaknya Oryza maka diikuti dengan nama akhir Sativa. Maksudnya orang tuamu itu memberikan nama padi kan untukmu? Jarang-jarang ada orang dengan nama Oryza diikuti dengan nama lain.”
            “Oh, wow. Alasan yang cukup bagus, untuk seorang penguntit pemula. Hahahaha. Terus kamu sendiri siapa?”
            “Aku bukan penguntit. Apalagi Cuma penguntit pemula. Namaku Puisi.” Puisi mengulurkan tangannya seolah mengajak berdamai.
            “Puisi doang? Puisi aja?”
            “Puisi Laluna Januar.”
            “Puisi bulan januari? Hahahaha. Lucu banget namamu. Kenapa gak puisi bulan Juni?”
            “Tapi bikin namanya gak selucu itu. Kamu gak tau sih kenapa orang tuaku ngasih nama itu. Orang tua kamu pasti punya alasan kasih nama kamu Oryza Sativa. Oh iya, soal kenapa gak puisi bulan Juni. Aku lahir di bulan Januari bukan Juni.” Puisi meninggalkan Oryza yang sedang bingung menatapnya. Dipikiran Puisi, Oryza adalah orang yang menyebalkan. Namun menurut Oryza, Puisi benar-benar memikatnya. Oryza semakin ingin dekat dan mengenal Puisi
Di malam hari yang gerimis, 10 Maret 2015
Hai dear.
Aku tadi bertemu dengan seorang pria di kantin kampus. Ia sangat menyebalkan, dipikirnya namaku bercandaan dari orang tuaku. Ia tak pernah tau bagaimana nama itu tercipta. Mungkin ia juga tak pernah tau bagaimana nama Oryza Sativa tercipta untuknya. Tiba-tiba tercetus ide menamakannya Oryza saat ia terlahir ke bumi.
Aku benar-benar ingin menampar wajahnya karena menggangguku seharian ini. Aku benar-benar tak suka diganggu. Aku nyaman hidup sendiri, nyaman tanpa teman. Aku tak suka disusahkan oleh orang lain karena aku juga tak mau menyusahkan mereka. Tapi Oryza benar-benar menyebalkan, ia benar-benar menyusahkanku.
Oh iya, tadi sebelum bertemu Oryza aku ingin pergi ke kantin dengan Asoka. Aku menanyakan banyak hal kapada Asoka, mungkin ia muak dan akhirnya meninggalkanku sendiri. Setelah itu aku bertemu Oryza. Apa ini yang disebut takdir?
Bagaimana jadinya jika aku tak bertanya pada Asoka dan Asoka tak meninggalkanku. Akankah aku bertemu dan mengenal Oryza?  Bagaimana jadinya jika aku tak mengajak Asoka pergi ke kantin pukul 11 kurang 10 menit. Apa aku akan tetap bertemu dengan Oryza?
Ya ampun, mengapa seharian ini aku terus menerus berpikir demikian. Sudahlah aku ingin tidur.
Puisi menutup buku hariannya, tapi rasa kantuk tak kunjung datang. Ayahnya sudah terlelap sejak pukul 23 tadi. Tapi puisi belum juga ingin tidur. Matanya tetap terjaga, rumah serasa sepi sekali. Semua lampu sudah dimatikan kecuali lampu teras dan lampu kamarnya. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menelusup ke hatinya, seperti perasaan kesepian yang dinikmati. Tiba-tiba Puisi menangis, seperti gerimis di luar rumahnya yang menyirami tanaman bunga-bunga mawar kesayangannya. Air mata Puisi menyirami buku harian yang baru saja ditulisnya.
Di lain tempat ada orang yang tak bisa memejamkan mata karena terus memikirkan Puisi, Oryza yang sejak tadi memegang dadanya untuk memastikan jantungnya tetap berada di sana.
Inikah dunia paralel itu?



BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar