Minggu, 29 Juni 2014

Jakarta - Jimbaran Balik Lagi ke Jakarta

Jakarta, 29 Juni 2014

Malam ini di tanggal yang sama dengan malam itu tanpa bulan, aku kembali mengingatmu. Malam itu di antara suara debur ombak dan suara riuh manusia, aku menyimakmu, bernyanyi. Suara yang tak akan aku lupa, dan untuk pertama kalinya aku merasa kita terlalu dekat. Kau meminta api pada lampionku untuk menyalakan rokokmu. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, semenjak saat itu aku tak lupa bayanganmu.
                                                                                                Jakarta, 29 Mei 2014

Aku teringat kembali senyummu di hari kemarin, sungguh manis. Senyum pertamamu yang aku lihat.

Jimbaran, 29 April 2014

            Pagi-pagi sekali setelah lelah beraktivitas di hari senin, ini hari kedua kami di Bali aku bangun lebih awal dari teman-temanku. Dan terkejut melihat dua orang temanku tidur di lantai kamar hotel dengan beralaskan sajadah. Rupanya mereka menginap di kamarku dan tak kembali ke kamar mereka masing-masing. Aku memutuskan membiarkan mereka tetap terlelap sementara aku langsung pergi mandi sebelum teman-temanku bangun. Barulah sesudahnya aku membangunkan mereka satu persatu.
            Hari kedua kami di Bali ini terasa sangat membosankan, tidak seperti hari kemarin. Tetapi, esok hari terakhir kami di Bali. Sehingga sebisa mungkin kami harus menikmati semua ini sebelum akhirnya kami akan berkutat lagi dengan aktivitas rutin kami di kampus.
Dimulai dengan berbelanja oleh-oleh di toko Krisna, lalu beranjak ke pantai Tanjung Benoa. Aku sungguh bosan di tempat ini, aku tidak merasakan ada hal yang istimewa. Aku terus mengeluh karena udara yang sangat panas dan es kelapa yang tak enak rasanya. Ada banyak penjual bakso di sana, aku mulai rindu dengan makanan favoritku itu tapi terlalu takut untuk membeli walaupun tertulis halal di sana. Setelah bertanya kepada guide ternyata katanya halal, lalu beberapa dari kami memutuskan untuk membeli walaupun rasanya tidak seenak bakso di jakarta, karena memang bukan di buat dari daging sapi, mungkin diganti dengan daging ikan atau ayam.
Setelah jam berkunjung usai di pantai Tanjung Benoa kami melanjutkan perjalanan ke pantai Pandawa. Aku mengaggumi pemandangan di sana, sungguh indah. Aku dan teman-temanku menikmatinya dengan bermain cannoe, tapi di pantai itu aku melihat seseorang yang mulai menarik perhatianku. Dia duduk sendiri ketika itu, aku mengamatinya dari balik pohon beringin. Aku terus mengamatinya sampai aku ditarik oleh temanku. Mungkin temanku itu tidak tahu bahwa aku sedang memperhatikan dia. Aku tak tahu apa dia menyadari hal itu, karena saat itu dia memakai kacamata hitam. Aku beranjak pergi.
Usai dari pantai pandawa, akhirnya tibalah saatnya untuk kami Makrab. Kami bersiap tampil sebaik mungkin untuk acara ini, karena kami pikir inilah puncak dari acara KKL kami ini. Dan malam keakraban ini telah dipersiapkan sebaik mungkin.
Aku bersama tiga orang teman sekamarku, berlaku sama dengan teman-teman lainnya mempercantik diri hingga bisa tampil seanggun mungkin, setelah aku ingin menangis karena masalah dress dan wajahku yang terbakar dan mengelupas karena seharian bermain di pantai tanpa sunblock. Akhirnya dengan pertolongan dari teman-teman sekamarku, aku bisa merasa percaya diri lagi padahal sebelumnya aku tidak ingin hadir di acara itu, dan memilih untuk berdiam diri di kamar saja. Kami berdandan terlalu lama, hingga tak terasa bahwa teman-teman yang lain sudah menunggu di Bus dan teman-teman kami yang dari bus lain sudah berangkat meninggalkan bus kami. Jadilah, aku dan teman-teman sekamarku disumpah serapahi teman-teman satu bus. Aku merasa sangat bersalah malam itu, dan aku memilih untuk diam. Bahkan saat guide bus kami menjelaskan tentang pantai jimbaran aku tidak mendengarkan, karena aku diliputi perasaan kecewa terhadap diriku sendiri. Aku pikir malam itu menjadi tambah tidak menyenangkan ditambah lagi aku sedang PMT (Pre Menstruation Tention), semua jadi terasa begitu menyebalkan hari itu.
Pantai jimbaran, tanpa bulan. Setelah berfoto untuk untuk kenang-kenangan, kami pun diantar ke pantai lalu mencari tempat duduk masing-masing. Dan kulihat di atas panggung, ada dia. Aku agak terkejut mendengar suaranya, suara parau. Dari dulu aku menyukai suara parau, bahkan aku sering menceritakan laki-laki bersuara parau dalam cerpen dan puisiku. Aku merasa ia adalah tokoh dalam cerpen atau puisiku yang benar-benar hidup. Aku menikmati pemandangan itu, bukan pantai tapi dia. Bahkan, aku lebih tertarik pada derai suaranya dibanding dengan suara debur ombak yang selalu aku cinta selama ini. Dia bernyanyi, aku merasa punggungku panas diliputi sesuatu yang entah apa namanya. Aku merasa berbeda malam itu, aku yang dulu selalu datar mulai menunjukan grafik meningkat. Teman-teman disekitarku mulai mengeluh bahwa malam itu membosankan, tapi tidak bagiku. Aku merasa seperti terlahir kembali. Aku tak bisa berhenti tersenyum.
Ketika acara tukar kado dimulai, dan semua orag maju ke depan panggung aku kembali menemukannya dalam naungan kacamata hitam, hingga aku tak tahu ia sedang memandang apa. Yang aku tahu dia telah menguasai tiga perempat pikiranku malam itu, mataku tak bisa beralih fokus. Dan beruntung, aku ini wanita. Aku mampu memperhatikan orang tanpa harus melirik kepada objek yang dituju, hingga kecil kemungkinan ia tahu bahwa aku sedang mengamatinya tanpa suara semenjak tadi.
Acara penutupan, penerbangan lampion. Aku memberanikan diri memegang lampion bersama seorang teman sekelasku. Aku tahu, aku takut api yang besar. Tapi malam itu seperti yang kubilang tadi aku terlahir kembali sehingga aku memberanikan diriku menerbangkan lampion. Aku menjerit ketakutan, karena semakin lama api yang terlatak di depan mataku kian membesar. Tapi, kalau aku lepas lampion itu, maka ia akan terbakar dan aku sudah dapat dipastikan akan disumpahi teman-temanku. Aku kuatkan diriku, aku memejamkan mata agar tak takut lagi.
Aku membuka mata, ketika aku merasakan seseorang hadir disampingku. Ternyata, DIA. Aku melihatnya, menyulut rokok pada api lampionku. Aku terus mengamatinya tanpa berkedip, jarak antara aku dan dia hanya sejengkal. Lalu, aku merasakan jantungku hampir meledak seluruh punggungku panas. Lebih panas dari api lampion itu. DEGH! Aku menyadari bahwa aku benar-benar telah terlahir kembali. DEGH! Aku jatuh cinta. Mungkin, karena merasa diperhatikan ia mengucap maaf, aku menahan senyum melihatnya kikuk di depan kami berdua. Lalu, ia mencoba menyalakan rokoknya sekali lagi sebelum akhirnya beranjak pergi dan meminta api pada teman laki-lakinya yang tak akan mungkin menatapinya seperti itu. Aku menatapi punggungnya ketika ia berbalik, menahan senyumku agar tidak ada yang tahu bahwa aku telah menjadi manusia yang berbeda malam itu. Aku bukan lagi arca berwajah datar tanpa emosi dan perasaan seperti yang dikatakan teman-temanku selama ini. Aku telah menjelma menjadi manusia normal yang kasmaran.
Karena terus menatapi punggungnya, aku tak menyadari bahwa lampion yang kupegang ternyata sudah ingin terbang, aku melepas lampion itu ke angkasa sambil terus menyebut namanya dalam hati. Nama yang baru aku tahu beberapa menit lalu saat ia bernyanyi, dan aku bertanya pada seorang temanku, siapa dia? Tanpa perlu banyak pertanyaan yang mengundang curiga banyak orang, temanku telah bercerita banyak tentangnya. Aku berteriak pada lampion itu, meneriakan harapan dan doa untukmu, untukku juga. Dalam hati, aku berdoa pada Tuhan. Aku tak mau lupa malam ini, aku ingin mengingat semuanya. Aku tak tahu malam itu, dia berdoa tentang apa. Aku tak tahu, malam itu ia ingin mengingat apa. Setelah itu, aku tak pernah berhenti tersenyum. Aku mulai melihat dia dimana-mana, entah hanya ilusi semata atau memang ia nyata ada di sana. Aku mulai bergumam pada diriku sendiri, mengapa tak sejak awal aku jatuh cinta padanya, mengapa harus sekarang di saat kami sebentar lagi akan berpisah, di saat perkuliahan kami akan selesai. Sungguh ini akan sangat menyiksa, karena aku pasti akan meridukannya. Tiba-tiba, aku tak ingin malam ini berakhir, aku tak ingin segera mengakhiri perjalanan ini. Aku tak ingin berpisah.
                                                                                              
  Jakarta, 29 Juni 2014


Malam ini, aku merindukannya. Namun, rasa itu mulai membiasakan dirinya sekarang. Aku menerbangkan sepucuk doa padanya, semoga ia baik-baik saja di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar