Menatap purnama pada matamu
Kelam langit dan parau suaramu
Malam yang manis pada jarak meja kita
Ah.. Malam yang manis tanpa bulan dan lilin
Hanya ada aku, kau dan deru ombak
Biarkan yang lain, cukup aku, kau serta api lampion yang kau minta
Biarkan malam itu mengabadi dalam ingatanku,
Kau yang entah mengingat apa,
Dan semesta yang merekam segala
Jimbaran, 30 April 2014
Aku ingin mendengar suaranya, aku ingin mendengar ia bernyanyi sekali lagi, sekali lagi dan seterusnya sekali lagi.
Malam ini, baru aku tahu namanya. Namanya, ah sudahlah tak usah disebut. Ia bernyanyi malam ini. Lalu, itu menjadi kesempatanku bertanya, siapa dia. Aku suka suaranya. Parau namun lembut. Apalagi saat dia meminta api lampion karena ingin menyalakan rokoknya. Aku menatap wajahnya lamat-lamat ditimpa cahaya lampion. Astaga.. Jantungku langsung berdegub kencang. Sebelum malam ini, aku beberapa kali melihatnya, tapi semuanya sama dengan gaya acuh tak acuhnya ia selalu merokok. Tapi sungguh aku suka dia bahkan sebelum malam ini, hanya saja yang kemarin-kemarin itu aku hanya suka-suka biasa, belum pakai perasaan, aku suka hanya ketika aku melihatnya setelah itu lupa. Tapi malam ini, sungguh ia menguasai tiga perempat pikiranku.
Pikiranku selalu melayang pada pementasannya beberapa bulan yang lalu. Pada wajah yang tak pernah aku tahu bagaimana rupa senyumnya. Sungguh, aku tak pernah melihatnya tersenyum. Bahkan, kalau bukan karena malam ini, aku mungkin tak akan pernah tahu namanya. Malam ini sungguh manis, walau aku tahu lagu itu bukan untukku. Tapi, semoga saja dia mau bernyanyi untukku suatu saat nanti. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar