Sabtu, 30 September 2017

Tertawa


Aku benar-benar suka melihat diriku tertawa lepas, ada beban yang hilang saat aku tertawa. Walaupun rasanya sungguh aku ingin berteriak, marah, menangis, memaki dan mengutuk pada hari itu tapi aku memilih untuk tertawa. Menertawakan apapun bahkan untuk hal yang paling tidak lucu sekalipun. Rasanya aku membutuhkan tertawa lebih dari siapapun.
Katanya tertawa adalah obat yang paling mujarab untuk mengobati patah hati, lelah dan lain sebagainya, aku percaya itu. Tertawa membuat aku menjadi lebih kuat, merasa lebih siap menghadapi apapun bahkan hal yang paling buruk dalam hidupku. Katanya pula aku perempuan tanpa hati, mungkin benar karena aku banyak tertawa bahkan disaat aku benar-benar terluka.
Sebenarnya yang jarang diketahui oleh banyak orang- kecuali jika dia benar-benar dekat denganku- aku juga sering menangis, menangis diam-diam di kamar mandi atau ketika semua orang tertidur pulas bahkan di dalam mimpipun aku sering menangis, dan yang baru-baru ini terjadi aku menangis diam-diam di motor saat aku diantar pulang ke rumah. Laki-laki itu mengakhiri hubungannya denganku, memang sakit, entah ini kali keberapa aku terpuruk karena cinta. Ditinggalkan dan merasa tidak dicintai, mungkin dia tidak akan pernah tahu (kecuali dia membaca tulisan ini dan menyadarinya) malam itu aku tidak bisa bicara apa-apa, aku hanya bisa tersenyum getir, rasanya kakiku melemah dan perutku mulas luar biasa.
Dia tak akan pernah tahu bahwa malam itu aku menangis saat dia terus mengajakku berbicara, entah apa yang dia bicarakan. Aku hanya mampu berkata, "Iya", "Oh" bahkan sebenarnya aku tak mendengar alasan panjang lebarnya ketika mengakhiri hubungan denganku. Seketika telingaku menjadi tuli dan tak mampu mendengarkan apapun, hanya jantungku yang rasanya ingin meloncat, tubuhku yang seketika dingin, dan napasku yang rasanya semakin berat dan sesak. Aku berusaha membendung air mataku sampai rumah namun aku tak kuasa, semuanya tumpah ruah di jalan, menetes-netes di jok motornya, mungkin juga dia tak mendengar aku menangis tertahan. Aku malu kalau ketahuan menangis, terlebih malu oleh dirinya yang saat ini berstatus mantan pacar.
Percayalah kawan, hatiku ini tak sekuat baja terkadang aku lemah seperti kain basah. Aku memang keras kepala, aku sering asal biacara, sering memaki dan mengumpat bahkan mengutuk. Tapi percayalah kawan, aku ini masih perempuan biasa yang butuh menangis, aku tidak pernah sekuat itu. Mungkin aku lebih rapuh dan mudah hancur, hanya karena aku selalu tertawa maka aku terlihat lebih kuat, lebih tegar. Sebenarnya dibalik ketegaran itu aku diobati oleh airmata, karena airmata aku menjadi lebih kuat, lebih tegar dan siap menghadapi apapun bahkan yang paling buruk. 
Dibalik tawa selalu ada airmata tidak pernah terpisahkan. Tawa menutupi semua kesedihan dan airmata yang menguatkan tawa.

Selasa, 20 September 2016

23

Ini aku ketika usiaku 23 tahun, aku akan ceritakan pada setiap orang bahwa hidupku bahagia. Aku punya cinta yang cukup, kasih sayang yang banyak dan perhatian yang melimpah. Aku tak peduli berapa usiaku sekarang dan berapa banyak waktu yang tersisa. Toh, bisa mencapai usia sekarangpun aku sudah sangat bersyukur mengingat aku yang dulu sekarat.
Beberapa kali aku jatuh, terjerembab dengan wajah yang menghantam tanah terlebih dahulu yang membuatku malu pada diriku sendiri, tamparan, cerca dan makian aku terima. Tapi, aku berusaha untuk tetap berjalan lurus sesuai arahku walaupun terkadang jalan yang aku lalui rasanya terlalu terjal tapi pemandangan kiri dan kanan jalanku rasanya indah, sering sekali aku berhenti sebentar, ingin menyerah untuk berhenti saja di sisi jalan menikmati apa sudah aku lalui karena rasanya sudah tak sanggup lagi berjalan mendaki.
Lagi pula aku sangat bahagia mempunyai keluarga yang menyayangiku, teman-teman yang peduli padaku, walaupun jumlahnya tak banyak tapi mereka yang selalu pertama hadir ketika aku terpuruk, mengusap air mataku dan berkata “Ayo kita lalui ini bersama.”
Hidupku sangat bahagia, karena aku hampir tak pernah jauh dari orang tuaku. Aku bisa melihat mereka setiap hari, mengamati rambut mereka yang perlahan memutih dan keriput yang mulai bermunculan. Aku senang mereka bisa memantau perkembanganku setiap harinya, perubahan-perubahan kecil dariku yang perlahan dewasa tak pernah luput dari mereka.
Aku bahagia punya keluarga kecil yang selalu ramai setiap harinya dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di dalam rumah kami yang mungil sebagai dramanya. Aku sungguh bahagia punya adik-adik kecil yang menyayangi kakaknya sepenuh hati.

Tak peduli lagi saat orang-orang menertawakanku, mencelaku dengan sebutan tak pantas. Aku selalu bangga menjadi diriku sendiri. Aku tak peduli apa kata orang. Aku hanya bisa bersyukur atas nikmat tak terkira ini dan selalu bahagia menjadi diriku sendiri.

Senin, 25 Juli 2016

Takut

Hal yang paling saya takutkan di dunia ini adalah waktu, karena waktu saya menjadi takut dengan hal hal yang lain. Takut terlambat, takut kehilangan, takut dengan kematian juga takut dengan perpisahan. Waktu  tak pernah mengulang dan kita cuma bisa mengenang, itu yang saya takutkan.
Saya takut jika saya tidak bisa bahagia setelah perpisahan. Saya takut jika harus menangis setelah meninggalkan. Saya takut tak akan merasakan hal yang sama lagi, saya takut tidak bisa menatap warna matanya, melihat senyumnya yang membuat jatung saya berdebar hebat setiap kali kami bertemu. Perasaan canggung dan kikuk yang saya  rindukan setiap kali saya memintamu berfoto berdua. Saya kangen hal itu.
Saya menunggu kamu 1,5 tahun lamanya, saya tidak merasa terbebani. Karena jatuh cinta bukan hal yang mudah untuk saya. Saya lebih mampu menyimpan perasaan saya sendiri bertahun tahun daripada memilih untuk jatuh cinta lagi. Saya yakin sekali dengan pilihan saya yang tetap menunggu tanpa mengungkapkan. Bukankah kamu sendiri tau bahwa saya sangat mencintai kamu?

Ini cuma masalah waktu kan? Saya masih menunggu jawaban dari waktu. Akan kah saya nanti bersama kamu atau pada nantinya saya jatuh cinta lagi dan pergi dari kamu. Saya tidak tau nantinya akan seperti apa. Tapi, saya masih menunggu dan mencintai kamu.

Senin, 18 April 2016

JEDA

Aku pikir jeda itu singkat, awalnya aku ingin sebentar saja lalu kembali lagi pada rutinitas. Lama kelamaan rasanya aku semakin nyaman ada pada jeda, tanpa siapa-siapa yang perlu aku pikirkan atau aku khawatirkan. Ruang pendek yang kosong tanpa apa apa, aku nyaman ada di sana.


Jeda setelah koma untuk mengambil napas sebentar, sebelum melanjutkan membaca. Aku butuh ruang itu, mungkin yang aku butuhkan sebenarnya adalah titik. Aku butuh jeda panjang. Ya, mungkin aku butuh titik, sebuah titik di penghujung kalimat yang menandakan selesai.

Rabu, 09 Maret 2016

Pertemuan

Kemarin, aku kembali bermimpi tentangmu. Kita duduk berdua membicarakan apapun yang pernah terlewatkan. Tapi ada yang berubah, sorot matamu. Tak lagi hangat, tak lagi menatap mataku. Walaupun kita berdekatan tapi ada jarak yang rasanya jauh sekali.
Kemarin aku berjalan bersamamu, tak lagi bergandengan tangan di tempat yang pernah kita kunjungi dulu. Kita berjalan masing-masing dan sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Kamu rasanya begitu jauh walau hanya berjarak kurang dari setengah meter dariku. Ada tembok yang menghalangi kita, mungkin egoku atau egomu, jangan-jangan ego kita berdua.
Pertemuan kita rasanya terlalu hambar, nyaris selewat seperti mimpi biasa. Aku yang menekan perasaanku sekuat mungkin terhadapmu hanya untuk membuat kamu tetap merasa nyaman saat kita duduk semeja. Kamu tau? Aku selalu sengaja berjalan di depanmu hanya karena tak mampu lagi melihat punggungmu. Tak kuat jika harus terkenang semua yang menjadi identitasmu.
Aku berusaha sekuat mungkin terlihat biasa, bersikap wajar di depanmu.
Kamu harus merasa nyaman.
Kamu harus tetap tersenyum kepada yang lain, tak perlu kepadaku. Itu hanya membuat hatiku semakin terbakar karena aku belum bisa bersikap wajar. Kamu tak perlu tersenyum kepadaku karena kamu hanya akan membangunkan mimpi-mimpiku kembali, aku telah bersusah payah menguburnya.

Senyummu yang kemarin masih membekas, aku harap itu menjadi pertemuan kita yang terakhir.

Minggu, 27 Desember 2015

Blanc

Ada orang yang paling kukasihi, karena senyumnya yang hanya bisa kukenang-kenang dan apapun yang berasal darinya –yang sepertinya pula- sudah mulai pudar dan hanya bisa kuingat sesekali mampu membuat hatiku menjadi jauh lebih hangat, aku tak perlu lagi takut pada apapun, aku tak perlu lagi merasa sakit setiap kali jantungku berdetak hebat.
Ada laki-laki yang paling kukasihi, tapi aku tak takut kehilangan dia. Aku berusaha mati-matian untuk tetap mengingat wajahnya, senyumnya dan apapun yang menjadi identitasnya. Aku telah berpasrah pada ingatanku yang tak akan lama, yang tak bisa mengenal banyak wajah. Aku tak takut lupa pada wajahnya yang tak kutemui hampir sebulan ini.

Aku terus berusaha menghubunginya setiap hari hanya supaya aku tidak lupa dengannya. Aku berusaha untuk mengingat wajahnya sebelum aku terlelap tidur, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Aku tak takut lagi lupa dengan segala sesuatu tentangnya yang mungkin nanti hanya akan menjadi daftar nama orang yang berkata mengenalku tapi tak pernah aku akui. Bukan hal penting lagi jika aku lupa pada wajah dan hanya mengingat nama, ketika kita hilang komunikasi maka kamu hanya akan otomatis hilang dari ingatan dan tak akan muncul kembali.

Selasa, 08 Desember 2015

Kaca

Rasanya hancur, seperti dihempaskan dan aku berantakan. Tapi, hidup terus berjalankan? Aku harus kumpulkan lagi bagian tubuhku yang hancur berantakan seperti kaca, aku dengar lagi suara ketika aku terhempas "PRAANGGG" dan hancur. Suaranya menyayat seluruh tubuhku, menjadi serpihan-serpihan kecil dan aku kembali terluka ketika aku mengumpulkan bagian tubuhku yang berantakan. Aku menangis sekali lagi. Tapi aku janji besok-besok tidak ada lagi yang mampu menghancurkan aku, aku sudah pernah dihancurkan sebelumnya. Besok-besok tidak ada lagi yang tangisan dengan alasan yang sama.

Inilah aku yang terlahir dengan perasaan kaca dan hati yang mudah retak. Mudah menangis dan tersakiti, mudah hancur tapi harus berguna lagi. Aku melewati banyak proses hingga membentukku seperti ini, aku yang lemah dan mudah menangis, aku yang mudah terbawa perasaan dan mudah merasa tersakiti. Aku dilahirkan dari ibu yang penuh cinta seperti bulan dan ayah yang kasih seperti matahari. Sedang aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang tanpa suara dengan nada tinggi. Rumah kami nyaris hening sepanjang hari. Satu suara meninggi satu not saja aku mudah kaget, tersentak dan menangis hening. Aku dibesarkan dengan cara itu, hingga aku menjadi seperti ini.

Kalau kamu tanya kenapa aku begitu sensitif dan mudah terbawa perasaan, kamu bisa membacanya di paragraf  kedua. Aku sudah tidak bisa menunggumu lagi, semuanya menjadi jelas hari ini. Kamu tak mengharapkan aku, kamu lebih suka sendiri dengan duniamu. Mungkin aku masih bisa menunggu sebentar, sambil terus mencari tempat aku kembali singgah. Tapi tidak lama, hidupku cuma sebentar dan waktu terus berjalan. Aku harus terima kenyataan bahwa aku harus membuka hati untuk orang yang baru. Bukan lagi menunggumu, bukan lagi berlari mengejarmu kemanapun kamu berlari. 

Kita punya jalan masing-masing dan aku harus ikuti jalan hidupku, sampai aku temukan tujuanku nanti. 
Merci Beaucoup Monsieur, untuk pengalaman tak terlupakan selama aku bersamamu. Sampai jumpa lain waktu jika Tuhan menginginkannya. Je t'aime.