Selasa, 20 September 2016

23

Ini aku ketika usiaku 23 tahun, aku akan ceritakan pada setiap orang bahwa hidupku bahagia. Aku punya cinta yang cukup, kasih sayang yang banyak dan perhatian yang melimpah. Aku tak peduli berapa usiaku sekarang dan berapa banyak waktu yang tersisa. Toh, bisa mencapai usia sekarangpun aku sudah sangat bersyukur mengingat aku yang dulu sekarat.
Beberapa kali aku jatuh, terjerembab dengan wajah yang menghantam tanah terlebih dahulu yang membuatku malu pada diriku sendiri, tamparan, cerca dan makian aku terima. Tapi, aku berusaha untuk tetap berjalan lurus sesuai arahku walaupun terkadang jalan yang aku lalui rasanya terlalu terjal tapi pemandangan kiri dan kanan jalanku rasanya indah, sering sekali aku berhenti sebentar, ingin menyerah untuk berhenti saja di sisi jalan menikmati apa sudah aku lalui karena rasanya sudah tak sanggup lagi berjalan mendaki.
Lagi pula aku sangat bahagia mempunyai keluarga yang menyayangiku, teman-teman yang peduli padaku, walaupun jumlahnya tak banyak tapi mereka yang selalu pertama hadir ketika aku terpuruk, mengusap air mataku dan berkata “Ayo kita lalui ini bersama.”
Hidupku sangat bahagia, karena aku hampir tak pernah jauh dari orang tuaku. Aku bisa melihat mereka setiap hari, mengamati rambut mereka yang perlahan memutih dan keriput yang mulai bermunculan. Aku senang mereka bisa memantau perkembanganku setiap harinya, perubahan-perubahan kecil dariku yang perlahan dewasa tak pernah luput dari mereka.
Aku bahagia punya keluarga kecil yang selalu ramai setiap harinya dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di dalam rumah kami yang mungil sebagai dramanya. Aku sungguh bahagia punya adik-adik kecil yang menyayangi kakaknya sepenuh hati.

Tak peduli lagi saat orang-orang menertawakanku, mencelaku dengan sebutan tak pantas. Aku selalu bangga menjadi diriku sendiri. Aku tak peduli apa kata orang. Aku hanya bisa bersyukur atas nikmat tak terkira ini dan selalu bahagia menjadi diriku sendiri.

Senin, 25 Juli 2016

Takut

Hal yang paling saya takutkan di dunia ini adalah waktu, karena waktu saya menjadi takut dengan hal hal yang lain. Takut terlambat, takut kehilangan, takut dengan kematian juga takut dengan perpisahan. Waktu  tak pernah mengulang dan kita cuma bisa mengenang, itu yang saya takutkan.
Saya takut jika saya tidak bisa bahagia setelah perpisahan. Saya takut jika harus menangis setelah meninggalkan. Saya takut tak akan merasakan hal yang sama lagi, saya takut tidak bisa menatap warna matanya, melihat senyumnya yang membuat jatung saya berdebar hebat setiap kali kami bertemu. Perasaan canggung dan kikuk yang saya  rindukan setiap kali saya memintamu berfoto berdua. Saya kangen hal itu.
Saya menunggu kamu 1,5 tahun lamanya, saya tidak merasa terbebani. Karena jatuh cinta bukan hal yang mudah untuk saya. Saya lebih mampu menyimpan perasaan saya sendiri bertahun tahun daripada memilih untuk jatuh cinta lagi. Saya yakin sekali dengan pilihan saya yang tetap menunggu tanpa mengungkapkan. Bukankah kamu sendiri tau bahwa saya sangat mencintai kamu?

Ini cuma masalah waktu kan? Saya masih menunggu jawaban dari waktu. Akan kah saya nanti bersama kamu atau pada nantinya saya jatuh cinta lagi dan pergi dari kamu. Saya tidak tau nantinya akan seperti apa. Tapi, saya masih menunggu dan mencintai kamu.

Senin, 18 April 2016

JEDA

Aku pikir jeda itu singkat, awalnya aku ingin sebentar saja lalu kembali lagi pada rutinitas. Lama kelamaan rasanya aku semakin nyaman ada pada jeda, tanpa siapa-siapa yang perlu aku pikirkan atau aku khawatirkan. Ruang pendek yang kosong tanpa apa apa, aku nyaman ada di sana.


Jeda setelah koma untuk mengambil napas sebentar, sebelum melanjutkan membaca. Aku butuh ruang itu, mungkin yang aku butuhkan sebenarnya adalah titik. Aku butuh jeda panjang. Ya, mungkin aku butuh titik, sebuah titik di penghujung kalimat yang menandakan selesai.

Rabu, 09 Maret 2016

Pertemuan

Kemarin, aku kembali bermimpi tentangmu. Kita duduk berdua membicarakan apapun yang pernah terlewatkan. Tapi ada yang berubah, sorot matamu. Tak lagi hangat, tak lagi menatap mataku. Walaupun kita berdekatan tapi ada jarak yang rasanya jauh sekali.
Kemarin aku berjalan bersamamu, tak lagi bergandengan tangan di tempat yang pernah kita kunjungi dulu. Kita berjalan masing-masing dan sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Kamu rasanya begitu jauh walau hanya berjarak kurang dari setengah meter dariku. Ada tembok yang menghalangi kita, mungkin egoku atau egomu, jangan-jangan ego kita berdua.
Pertemuan kita rasanya terlalu hambar, nyaris selewat seperti mimpi biasa. Aku yang menekan perasaanku sekuat mungkin terhadapmu hanya untuk membuat kamu tetap merasa nyaman saat kita duduk semeja. Kamu tau? Aku selalu sengaja berjalan di depanmu hanya karena tak mampu lagi melihat punggungmu. Tak kuat jika harus terkenang semua yang menjadi identitasmu.
Aku berusaha sekuat mungkin terlihat biasa, bersikap wajar di depanmu.
Kamu harus merasa nyaman.
Kamu harus tetap tersenyum kepada yang lain, tak perlu kepadaku. Itu hanya membuat hatiku semakin terbakar karena aku belum bisa bersikap wajar. Kamu tak perlu tersenyum kepadaku karena kamu hanya akan membangunkan mimpi-mimpiku kembali, aku telah bersusah payah menguburnya.

Senyummu yang kemarin masih membekas, aku harap itu menjadi pertemuan kita yang terakhir.