Senin, 09 Maret 2015

Cerita Bersambung: Puisi (Bagian Pertama)

“Aku tidak bisa bikin puisi.” Ia Cuma senyum-senyum sendiri. Kilat matanya berbaur dengan harum hujan sore. Hujan membawa matanya menjadi spektrum pelangi. Cantiknya. Ia hanya tersipu malu-malu, setiap dipuji.
Gadis bernama Puisi, dengan mata samudra, bibir mawar dan hati seperti es serut. Tetap saja manis walaupun dinginnya membuat ngilu. Tetap saja ada yang nekat mengajaknya bicara walau sudah  tau pasti tak akan ditanggapi. Ia adalah puisi yang paling puisi, puisi paling nyata di dunia. Maka ia selalu menjadi pusat perhatian, ia serupa magnet alam atau spiral yang membuatmu mabuk kepayang, terhipnotis masuk ke dalamnya berputar-putar tak sadar diri, atau mungkin ialah gravitasi alam ini. Medan dari segala aktivitas pria, matanya memang memabukkan.
Gadis itu bernama Puisi. Agak panjang jika harus diceritakan bagaimana orang tuanya memberikan nama itu kepada anak semata wayangnya. Ibunya meninggal ketika ia berusia lima tahun, ia dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Ayah Puisi sangat mencintai istrinya, setiap malam ayah Puisi membuatkan Puisi untuk istinya. Sampai Puisi beranjak dewasa, bagi ayahnya Puisi dan almarhumah istrunya adalah puisi yang paling puitis, magnet dari segala karya seni yang indah. Puisi paling nyata, tempat ia curahkan segala cintanya.
Bertahun-tahun setelah  kematian ibunya, Puisi tak pernah ingin membaca tulisan ayahnya. Membaca puisi yang ia ciptakan hanya untuk dia dan istrinya. Puisi tak pernah sanggup, melihat tulisan ayahnya yang selalu diselimuti oleh cinta yang mendalam. Ia tak pernah ingin menulis puisi seperti ayahnya, ia membenci pelajaran bahasa Indonesia saat sekolah.
“Ayah.. Sudah bangun?” Ia mengecup kening ayahnya. Guratan halus di wajah ayah tak mampu lagi membohongi siapapun bahwa ia lelah dengan dengan hidupnya. Semua orang tau pasti bahwa satu-satunya alasan ayah bertahan hidup adalah Puisi.
Ayah mengerjapkan mata, “Sudah, Puisi. Sudah sarapan?”
Puisi menggeleng, lalu bersandar pada dada ayahnya. Rasanya rumah itu terlalu sepi untuk ditinggali, jauh dari rumah penduduk dan dikelilingi oleh kebun dan perternakan warisan dari ibu yang masih terus dirawat oleh ayah, tak pernah kurang seinchi pun tanah yang dulu mereka beli dengan keringat dan air mata. Dari sanalah mereka dapat hidup, karena ayah hanya diam di sekitar rumah menulis puisi yang tak pernah ia kirimkan kemanapun. Ia kumpulkan semua puisinya ia jilid sendiri dengan karton atau kardus yang dilapisi dengan kertas warna-warni dan dijahit dengan benang kasur.
Aktivitas ayah tak pernah berubah selalu begitu setiap hari, bangun tidur ketika matahari sudah tinggi, mandi, sarapan, mengecek kebun dan peternakan, pulang, makan siang, tidur siang, bangun sore, mandi, menonton televisi, makan malam, menulis puisi lalu tidur. Begitu terus setiap hari, ayah tak pernah bosan.
“Ayo kita sarapan. Kamu mau ayah buatkan apa?”
“Telur dadar dan nasi goreng.” Puisi menandang wajah ayahnya. Mata ayahnya selalu teduh dan tak pernah layu walaupun ayah sedang sakit atau kelelahan.
“Oke. Mari kita buat.”
Pagi itu sarapan mereka di temani oleh Mozart, musik paling lembut dan memanjakan dari berabad yang lalu. Makan dengan keadaan seperti itu membuat mereka selalu merasa bahwa mereka dekat dengan alam, dengan mendiang ibu yang selalu mencintai musik itu. Karena kata ibu, musik mozart selalu membawanya pada kota Vienna yang indah dan damai yang selalu ingin ibu kunjungi.
***
“Namamu Puisi, tapi kok gak bisa bikin puisi? Padahal kamu juga kuliah sastra kenapa gak bisa?” Asoka teman baik Puisi, tak pernah bosan bertanya perihal Puisi yang tak bisa  membuat puisi. Tapi, tak pernah sekalipun Puisi menggubris Asoka. Puisi tetap diam dalam hening dan dinginnya.
“Asoka, kita makan siang yuk.”
“Bete deh kalo kamu udah begitu. Ngeselin banget.” Asoka mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Puisi.
“Asoka tau gak kenapa langit berwarna biru? Dari sekian banyak warna di dunia ini kenapa harus warna biru yang dipilih langit? Lalu, kenapa alam memlilih warna itu untuk setiap benda yang ada di jagad raya atau sebenarnya bendalah yang memilih warna untuk alam semesta? Kenapa kita berbeda, kita sama-sama manusia. Tapi, aku dilahirkan sebagai puisi dan kamu sebagai Asoka. Kamu pernah berpikir gak kalo misalnya, ayah dan ibu aku gak nikah maka gak akan ada aku, jadi kemana aku seharusnya kalo misalnya ibuku menikah dengan ayahmu dan ibumu menikah dengan orang lain. Bagaimana? Akan ada dimana kita, apa hidup kita akan sama. Apa kita bisa berbincang seperti sekarang, apa rupaku akan sama seperti saat ini jika ibuku menikah dengan ayahmu? Apa kepribadianku juga akan sama?”
“Asoka. Kamu ngerti gak tentang waktu? Apa sih waktu itu? Apa bedanya kita jalan ke kantin sekarang dengan lima menit lagi atau 5 menit yang lalu? Ketika kita memilih untuk jalan sekarang bagaimana dengan kejadian yang seharusnya kita alami jika kita berangkat menit yang lalu atau lima menit kemudian. Apakah kejadian itu akan tertunda namun akan kita alami beberapa waktu kemudian? Lalu kita akan heboh soal de javu atau kejadian lima menit yang lalu yang seharusnya kita alami akan diambil oleh orang lain yang memilih opsi tersebut sehingga kita terhindar dari kejadian tersebut tetapi kita yang memilih saat ini mengalami kejadian yang tak dipilih oleh orang yang memilih opsi lima menit yang lalu dan lima kemudian. Jadi, kita memilih opsi ini dan kita mengalami kejadian ini saat aku menanyakan beberapa pertanyaan yang mungkin akan membuatmu gila? Bagaimana Asoka menurutmu?”
“Aku ingin muntah, Puisi. Permisi.”

Lagi-lagi Puisi merasa tak ada yang mengerti isi kepalanya, tak ada yang memahami apa yang selalu ingin ia ketahui. Ia merasa sendiri dengan segala pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya. Memang tak ada yang mengerti. 

(Bersambung....)