“Aku tidak bisa bikin
puisi.” Ia Cuma senyum-senyum sendiri. Kilat matanya berbaur dengan harum hujan
sore. Hujan membawa matanya menjadi spektrum pelangi. Cantiknya. Ia hanya
tersipu malu-malu, setiap dipuji.
Gadis bernama Puisi,
dengan mata samudra, bibir mawar dan hati seperti es serut. Tetap saja manis
walaupun dinginnya membuat ngilu. Tetap saja ada yang nekat mengajaknya bicara
walau sudah tau pasti tak akan
ditanggapi. Ia adalah puisi yang paling puisi, puisi paling nyata di dunia. Maka
ia selalu menjadi pusat perhatian, ia serupa magnet alam atau spiral yang
membuatmu mabuk kepayang, terhipnotis masuk ke dalamnya berputar-putar tak
sadar diri, atau mungkin ialah gravitasi alam ini. Medan dari segala aktivitas
pria, matanya memang memabukkan.
Gadis itu bernama
Puisi. Agak panjang jika harus diceritakan bagaimana orang tuanya memberikan
nama itu kepada anak semata wayangnya. Ibunya meninggal ketika ia berusia lima
tahun, ia dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Ayah Puisi sangat mencintai
istrinya, setiap malam ayah Puisi membuatkan Puisi untuk istinya. Sampai Puisi
beranjak dewasa, bagi ayahnya Puisi dan almarhumah istrunya adalah puisi yang
paling puitis, magnet dari segala karya seni yang indah. Puisi paling nyata,
tempat ia curahkan segala cintanya.
Bertahun-tahun
setelah kematian ibunya, Puisi tak
pernah ingin membaca tulisan ayahnya. Membaca puisi yang ia ciptakan hanya
untuk dia dan istrinya. Puisi tak pernah sanggup, melihat tulisan ayahnya yang
selalu diselimuti oleh cinta yang mendalam. Ia tak pernah ingin menulis puisi
seperti ayahnya, ia membenci pelajaran bahasa Indonesia saat sekolah.
“Ayah.. Sudah bangun?”
Ia mengecup kening ayahnya. Guratan halus di wajah ayah tak mampu lagi
membohongi siapapun bahwa ia lelah dengan dengan hidupnya. Semua orang tau
pasti bahwa satu-satunya alasan ayah bertahan hidup adalah Puisi.
Ayah mengerjapkan mata,
“Sudah, Puisi. Sudah sarapan?”
Puisi menggeleng, lalu
bersandar pada dada ayahnya. Rasanya rumah itu terlalu sepi untuk ditinggali,
jauh dari rumah penduduk dan dikelilingi oleh kebun dan perternakan warisan
dari ibu yang masih terus dirawat oleh ayah, tak pernah kurang seinchi pun
tanah yang dulu mereka beli dengan keringat dan air mata. Dari sanalah mereka
dapat hidup, karena ayah hanya diam di sekitar rumah menulis puisi yang tak
pernah ia kirimkan kemanapun. Ia kumpulkan semua puisinya ia jilid sendiri
dengan karton atau kardus yang dilapisi dengan kertas warna-warni dan dijahit
dengan benang kasur.
Aktivitas ayah tak
pernah berubah selalu begitu setiap hari, bangun tidur ketika matahari sudah
tinggi, mandi, sarapan, mengecek kebun dan peternakan, pulang, makan siang,
tidur siang, bangun sore, mandi, menonton televisi, makan malam, menulis puisi
lalu tidur. Begitu terus setiap hari, ayah tak pernah bosan.
“Ayo kita sarapan. Kamu
mau ayah buatkan apa?”
“Telur dadar dan nasi
goreng.” Puisi menandang wajah ayahnya. Mata ayahnya selalu teduh dan tak
pernah layu walaupun ayah sedang sakit atau kelelahan.
“Oke. Mari kita buat.”
Pagi itu sarapan mereka
di temani oleh Mozart, musik paling lembut dan memanjakan dari berabad yang
lalu. Makan dengan keadaan seperti itu membuat mereka selalu merasa bahwa
mereka dekat dengan alam, dengan mendiang ibu yang selalu mencintai musik itu.
Karena kata ibu, musik mozart selalu membawanya pada kota Vienna yang indah dan
damai yang selalu ingin ibu kunjungi.
***
“Namamu Puisi, tapi kok
gak bisa bikin puisi? Padahal kamu juga kuliah sastra kenapa gak bisa?” Asoka
teman baik Puisi, tak pernah bosan bertanya perihal Puisi yang tak bisa membuat puisi. Tapi, tak pernah sekalipun Puisi
menggubris Asoka. Puisi tetap diam dalam hening dan dinginnya.
“Asoka, kita makan
siang yuk.”
“Bete deh kalo kamu
udah begitu. Ngeselin banget.” Asoka mempercepat langkahnya agar sejajar dengan
Puisi.
“Asoka tau gak kenapa
langit berwarna biru? Dari sekian banyak warna di dunia ini kenapa harus warna
biru yang dipilih langit? Lalu, kenapa alam memlilih warna itu untuk setiap
benda yang ada di jagad raya atau sebenarnya bendalah yang memilih warna untuk
alam semesta? Kenapa kita berbeda, kita sama-sama manusia. Tapi, aku dilahirkan
sebagai puisi dan kamu sebagai Asoka. Kamu pernah berpikir gak kalo misalnya,
ayah dan ibu aku gak nikah maka gak akan ada aku, jadi kemana aku seharusnya
kalo misalnya ibuku menikah dengan ayahmu dan ibumu menikah dengan orang lain.
Bagaimana? Akan ada dimana kita, apa hidup kita akan sama. Apa kita bisa
berbincang seperti sekarang, apa rupaku akan sama seperti saat ini jika ibuku
menikah dengan ayahmu? Apa kepribadianku juga akan sama?”
“Asoka. Kamu ngerti gak
tentang waktu? Apa sih waktu itu? Apa bedanya kita jalan ke kantin sekarang
dengan lima menit lagi atau 5 menit yang lalu? Ketika kita memilih untuk jalan
sekarang bagaimana dengan kejadian yang seharusnya kita alami jika kita
berangkat menit yang lalu atau lima menit kemudian. Apakah kejadian itu akan
tertunda namun akan kita alami beberapa waktu kemudian? Lalu kita akan heboh
soal de javu atau kejadian lima menit yang lalu yang seharusnya kita alami akan
diambil oleh orang lain yang memilih opsi tersebut sehingga kita terhindar dari
kejadian tersebut tetapi kita yang memilih saat ini mengalami kejadian yang tak
dipilih oleh orang yang memilih opsi lima menit yang lalu dan lima kemudian.
Jadi, kita memilih opsi ini dan kita mengalami kejadian ini saat aku menanyakan
beberapa pertanyaan yang mungkin akan membuatmu gila? Bagaimana Asoka
menurutmu?”
“Aku ingin muntah,
Puisi. Permisi.”
Lagi-lagi Puisi merasa
tak ada yang mengerti isi kepalanya, tak ada yang memahami apa yang selalu
ingin ia ketahui. Ia merasa sendiri dengan segala pertanyaan yang berkecamuk di
dalam kepalanya. Memang tak ada yang mengerti.
(Bersambung....)